KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan kasih sayang-Nya untuk kita semua. Alhamdulillah, berkat karunia-Nya makalah yang berjudul “Bahan Pengajaran dalam Al-Qur’an” telah selesai dengan tepat waktu untuk memenuhi tugas mata kuliah Qiro’atul Kutub Tafsir Tarbawi.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa salam, sang revolusioner dengan misi beliau untuk menyempurnakan akhlak manusia yang telah membawa kita dari zaman jahiliah menuju zaman yang terang benderang.
Sesuai dengan judulnya, makalah ini berisi tentang pendidik dan peserta didik dalam Al-Qur’an disertai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sangat relevan dan penafsirannya dari berbagai sumber yang terpercaya, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wonosobo, 12 November 2016
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang terus berjalan bahkan sejak manusia baru saja lahir ke dunia ini. Tidak hanya di lembaga formal pendidikan tersebut berlangsung. Dimana pun dan kapan pun pendidikan dapat diperoleh.
Dalam keberlangsungannya, ada dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam dunia pendidikan, yakni pendidik dan peserta didik. Keduanya dapat menjadi objek dan sekaligus menjadi subjek pendidikan tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Nah, untuk lebih jelasnya akan kami paparkan dalam makalah ini.
Rumusan Masalah
Bagaimana tafsir surah Al-Kahfi ayat ke 80-82 ?
Bagaimana tafsir surah Al-Baqarah ayat ke 286 ?
Bagaimana tafsir surah Ali Imran ayat ke 159 ?
Bagaimana tafsir surah Al-Hujurat ayat 11 ?
Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah dengan judul “Pendidik dan Peserta Didik dalam Al-Qur’an” agar selain kita dapat mengerti dan memahami pendidik dan peserta didik seperti apa yang tercantum dalam Al-Qur’an, juga diharapkan agar kita dapat menjadi pribadi yang baik, entah itu ketika posisi kita sebagai pendidik maupun sebagai peserta didik yang selaras dengan firman Allah yang ada dalam Al-Qur’an.
PEMBAHASAN
Pengertian Pendidik dan Peserta Didik
Pendidik, menurut Noeng Muhadjir adalah seseorang yang mempribadi (personifikasi pendidik), yaitu mempribadinya keseluruhan yang diajarkan, bukan hanya isinya, tapi juga nilainya. Personifikasi pendidik ini merupakan hal yang penting maknanya bagi kepercayaan peserta didik. Pendidik selain melakukan transfer of knowledge, juga seorang motivator dan fasilitator bagi proses belajar peserta didiknya.
Selain pendidik, komponen lainnya yang melakukan proses pendidikan lainnya adalah peserta didik. Peserta didik adalah makhluk Allah yang terdidi dari aspek jasmani dan ruhani yang belum mencapai taraf kematangan, baik fisik, mental, intelektual, maupun psikologisnya. Oleh karena itu, ia senantiasa memerlukan bantuan, bimbingan, dan arahan pendidik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal dan membimbingnya menuju kedewasaan.
Surah Al-Kahfi ayat 80-82
((((((( ((((((((((( ((((((( ((((((((( (((((((((((( ((((((((((( ((( ((((((((((((( (((((((((( ((((((((( (((( (((((((((((( ((( ((((((((((((( ((((((((( ((((((( ((((((( (((((((( (((((((((( ((((((( (((( ((((((( ((((((((((( ((((((( ((((((((((((( ((((((((((( ((( ((((((((((((( ((((((( ((((((((( ((((( ((((((( ((((((( (((((((((( (((((((( ((((((((( (((((( ((( (((((((((( ((((((((((( ((((((((((((((( (((((((((( (((((((( (((( ((((((( ( ((((( ((((((((((( (((( ((((((( ( ((((((( ((((((((( ((( (((( ((((((( (((((((( ((((((( ((((
Artinya : “Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".
Penjelasan Ayat
( وَاَمَّا الْغُلَمُ فَكَا نَ اَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِيْنَا اَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا )
Adapun anak muda, adalaorang kafir, sedang kedua orang tuanya adalah orang-orang yang beriman. Maka kami takut jika kecintaan kepadanya akan mendorong mereka untuk mengikuti didalam kekafirannya.
Qatadah berkata : kedua orang tuanya merasa gembira ketika ia dilahirkan, dan merasa sedih ketika dia dibunuh. Sekiranya dia masih hidup, niscaya hidupnya itu akan membawa kepada kebinasaan kedua orang tuanya.
فَاَرَدْنَا اَنْيُبْدِلَهُمَا رَبُهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَوةً وَّ اَقْرَبَ رُحْمًا
Orang alim ini berkata : kami menghendaki agar Allah memberi rezeki kepada kedua orang tua ini seorang anak yang lebih baik agama dan kesalehannya dibanding anak yang dibunuh ini, dan lebih dekat kasih sayangnya kepada mereka.
وَاَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَمَيْنِ يَتِمَيْنِ فِى الْمَدِيْنَةِ وَ كَانَ تَحْتَهُ كَنْزُلَهُمَا وَ كَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا فَاَرَادَ رَبُّكَ اَنْيَبْلُغَا اَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزُهُمَا رَحْمَةً مِّنْ رَبِّكَ
Sesungguhnya, faktor yang mendorong aku untuk menegakkan dinding ialah, karena di bawahnya terdapat harta benda simpanan milik dua orang anak yatim berada di kota, sedang bapak mereka adalah seorang yang saleh. Allah berkehendak agar harta simpanan itu tetap berada dalam kekuasaan kedua anak yatim itu, untuk memelihara hak mereka dan karena kesalehan bapak mereka.
(وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ اَمْرِيْ)
Aku melakukan apa yang telah kamu lihat sendiri itu tidak berdasarkan pikiran dan kehendakku sendiri, tetapi karena Allah memerintahkannya kepadaku. Sebab, pengurangan harta manusia dan penumpahan darah mereka hanya boleh dilakukan berdasarkan wahyu dan nas yang qat’i.
ذٰلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
Hal-hal yang menyebabkan aku melakukan perbuatan-perbuatan yang kamu ingkari, yang aku ceritakan kepadamu ini adalah penjelasan tentang akibat perbuatan yang karenanya kamu merasa sempit dan tidak bisa bersabar sebelum aku memberitahukannya lebih dahulu.
Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul ayat 80-81adalah seseorang bernama Ghulam yang dibunuh oleh Nabi Khidir (berdasarkan syari’at Nabi Khidir, hanya berlaku pada syari’at Nabi Khidir dan tidak berlaku bagi syari’at yang lain) karena kekhawatirannya bahwa si anak (saat dewasa) akan membawa kesesatan dan kekafiran bagi kedua orang tuanya, sebab kecintaan orang tua terhadap anak tersebut.
Relevansi dengan pendidikan
Peserta didik mencari ilmu pada orang yang lebih pandai darinya
Diperlukan adab kesopanan dalam proses belajar mengajar
Mencari dan menambah ilmu itu tanpa batas meskipun seseorang telah dalam kedudukan tinggi.
Surah Al Baqarah ayat 286
(( ((((((((( (((( ((((((( (((( ((((((((( ( ((((( ((( (((((((( ((((((((((( ((( (((((((((((( ( ((((((( (( ((((((((((((( ((( ((((((((( (((( ((((((((((( ( ((((((( (((( (((((((( (((((((((( ((((((( ((((( ((((((((((( ((((( ((((((((( ((( ((((((((( ( ((((((( (((( (((((((((((( ((( (( ((((((( ((((( ((((( ( (((((((( ((((( (((((((((( ((((( (((((((((((((( ( ((((( (((((((((( (((((((((((( ((((( (((((((((( (((((((((((((( (((((
Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
Asbabun Nuzul
Imam Muslim mengeluarkan di dalam kitab Shahih-nya dan juga dikeluarkan oleh periwayat lainnya, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Tatkala turun ayat [artinya], ‘Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu” (Al-Baqarah:284) beratlah hal itu bagi para shahabat. Lalu mereka mendatangi Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam, dengan merangkak atau bergeser dengan bertumpu pada pantat seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami sudah dibebankan amalan-amalan yang mampu kami lakukan; shalat, puasa, jihad dan sedekah (zakat) dan sekarang telah diturunkan padamu ayat ini padahal kami tidak sanggup melakukannya.’
Lalu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘Apakah kalian ingin mengatakan sebagaimana yang dikatakan Ahli Kitab sebelum kamu; kami dengar namun kami durhaka? Tetapi katakanlah ‘kami dengar dan patuh, Wahai Rabb, kami mohon ampunan-Mu dan kepada-Mu tempat kembali.’ Tatkala mereka mengukuhkan hal itu dan lisan mereka telah kelu, turunlah setelah itu ayat ‘Aamanar Rasuul…sampai al-Mashiir. (al-Baqarah:285)’ Dan tatkala mereka melakukan hal itu, Allah pun menghapus (hukum)-nya dengan menurunkan firman-Nya, “Laa Yukallifullah…hingga selesai.(al-Baqarah:286)” [HR.Muslim, no.125 dan Ahmad, II/412]
Penafsiran
(( ((((((((( (((( ((((((( (((( (((((((((
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.”
Keimanan dibuktikan dengan kesiapan menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah, jangan merasa enggan sedikitpun untuk menaatinya, karena tidak ada yang memberatkan. Apa yang diperintahkan Allah sudah disesuaikan dengan kemampuan manusia untuk menjalankannya. Aapa yang dilarang Allah sudah sesuai dengan kemampuan manusia untuk menjauhinya. Jika ada suatu perintah dirasakan berat, bukan bobot perintahnya yang berat, tapi hati dan keadaan yang mempengaruhinya. Berat atau ringannya menjalankan tugas, sangat dipengaruhi oleh persepsi individu dalam mengemban tugas tersebut. Semua itu mengisyaratkan bahwa setiap aturan syari’ah sudah sesuai dengan kemampuan manusia. Bila ada sutu perintah yang berat dalam situasi tertentu, maka Allah memberikan solusi mengatasinya.
((((( ((( (((((((( ((((((((((( ((( (((((((((((( (
“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”
Setiap individu memperoleh hasil dari apa yang diusahakannya, Tangan menjinjing bahulah yang memikulnya. Orang yang beramal baik, akan mendapatkan manfaat dari kebaikannya. Orang yang beramal buruk akan bertanggung jawab atas keburukannya. Berbuatlah baik, kalau ingin mendapatkan kebaikan. Jangan berbuat buruk, bila tidak ingin memikul akibat keburukan. Allah SWT akan memperhitungkan apa yang diperbuat manusia, apakah kebaikan ataukah keburukan. Ditandaskan pula dalam surah Az-Zalzalah ayat 7-8 seperti berikut:
((((( (((((((( ((((((((( (((((( ((((((( ((((((( ((( ((((( (((((((( ((((((((( (((((( ((((( ((((((( (((
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”
( ((((((( (( ((((((((((((( ((( ((((((((( (((( ((((((((((( ( ((((((( (((( (((((((( (((((((((( ((((((( ((((( ((((((((((( ((((( ((((((((( ((( ((((((((( ( ((((((( (((( (((((((((((( ((( (( ((((((( ((((( ((((( ( (((((((( ((((( (((((((((( ((((( (((((((((((((( ( ((((( (((((((((( (((((((((((( ((((( (((((((((( (((((((((((((( (((((
”(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
Orang yang beriman menghadapi perintah apapun selalu siap menjalankannya. Demikian pula bila menerima cegahan, maka mereka siap meninggalkannya. Bila ternyata larangan dan perintah tersebut ada yang dirasakan berat, maka tetap tidak menolaknya melainkan bermohon kepada Allah untuk mendapatkan keringanan. Inti do’a ini adalah ungkapan keyakinan bahwa segala yang diperintahkan Allah itu sudah disesuaikan dengan kemampuan manusia. Jika dirasakan ada yang berat, itu merupakan kelemahan diri. Oleh karena itu mohon diberi keringanan, bila terlanjur berbuat kesalahan, agar diganti dengan rahmat dan maghfirah. Kemudian karena dalam melaksanakan syari’ah itu banyak tantangan dari kalangan kafirin, maka bermohon pada-Nya agar mampu mengalahkan kafirin.
Relevansi dengan pendidikan
Pendidik hendaknya selalu siap untuk berperan menjadi seorang pendidik, baik menjalankan perintah untuk mentransfer ilmu, mendidik, dan menjadi teladan yang baik bagi peserta didiknya. Begitu pula sebaliknya, peserta didik hendaknya selalu siap menjalankan perintah dari pendidik dan tidak melakukan apa yang dilarangnya.
Pendidik senantiasa memudahkan peserta didiknya dalam proses belajar mengajar, memaafkan kesalahan peserta didik sembari menasehati dan mengingatkan dalam kebaikan.
Surah Ali Imran ayat 159
((((((( (((((((( ((((( (((( ((((( (((((( ( (((((( ((((( ((((( ((((((( (((((((((( (((((((((( (((( (((((((( ( (((((((( (((((((( (((((((((((((( (((((( ((((((((((((( ((( (((((((( ( ((((((( (((((((( (((((((((( ((((( (((( ( (((( (((( (((((( (((((((((((((((((( (((((
Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Asbabun Nuzul
Sebab-sebab turunya ayat ini kepada Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa salam adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ra menjelaskan bahwasanya setelah terjadinya perang Uhud, Rasulullah mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththab ra untuk meminta pendapat meraka tentang para tawanan perang, Abu Bakar ra berpendapat, meraka sebaiknya dikembalikan kepada keluargannya dan keluargannya membayar tebusan. Namun, Umar ra berpendapat mereka sebaiknya dibunuh. Yang diperintah membunuh adalah keluarganya. Rasulullah mesulitan dalam memutuskan. Kemudian turunlah ayat ini sebagai dukungan atas Abu Bakar. Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya yakni surah Ali Imran ayat 158.
Penafsiran
Makna ayat adalah ketika Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam bersikap lemah-lembut dengan orang yang berpaling pada perang uhud dan tidak bersikap kasar terhadap mereka maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau dapat melakukan itu dengan sebab taufiq-Nya kepada beliau.
Prof Hamka Menjelaskan tentang QS. Ali Imran ini, dalam ayat ini bertemulah pujian yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada ummatNya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa orang yang meninggalkan tugasnya, karena laba akan harta itu, namun Rasulullah tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin.
Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah rahmatNya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin. Meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah terhadap pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari Allah untuk mereka.
Andaikata Nabi Muhammad saw sallallahu ‘alaihi wa salam, berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan diri dari beliau. Disamping itu Nabi Muhammad selalu bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum muslimin patuh melaksanakan putusan- putusan musyawarah itu karena keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka tetap berjuang dan berjihad dijalan Allah dengan tekad ayng bulat tanpa menghiraukan bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum muslimin selain Allah.
M. Quraish Shihab di dalam Tafsirnya al-Misbah menyatakan bahwa ayat ini diberikan Allah kepada Nabi Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya, sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi manusia untuk marah, namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukan kelemah lembutan Nabi sallallahu ‘alaihi wa salam. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan perang, beliau menerima usukan mayoritas mereka, walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki dam mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus, dan lain lain.
Relevansi dengan pendidikan
Pendidik hendaknya dapat berlemah lembut terhadap peserta didiknya khususnya dalam proses pembelajaran, menyenangkan dan tidak membosankan sehingga peserta didik mampu menerima ilmu dengan baik
Pendidik juga harus melakukan diskusi dengan peserta didiknya, apa yang menjadi kendala mereka dalam pelajaran, apa yang menjadi keinginan mereka dalam proses pembelajaran misalnya dalam penggunaan metode atau pemberian tugas dan lain sebagainya. Jangan sampai pendidik menjadi orang yang otoriter, tidak memrima masukan dari peserta didiknya, menganggap ia paling tahu segalanya
Ketika kita menemukan kesalahan dari peserta didik, dalam menyerap pelajaran, sulit diatur dan sebagainya. Jangan lantas kita membeci mereka, memperlakukan mereka dengan kasar dan keras, menghukum mereka secara berlebihan atau bahkan mengatakan mereka dengan perkataan yang kotor. Karena hal itu tidak akan menyelesaikan masalah akan tetapi justru akan meimbulkan banyak masalah bagi pendidik itu sendiri lebih-lebih bagi peserta didik yang masih dalam tahap pembelajaran. Maafkanlah semua kesalahan mereka seraya menesehati mereka dengan lemah lembut, bukan berarti lemah lembut itu tidak tegas, tetapi lemah lembut dalam menasehatinya denagan tutur kata yang baik dan tidak menyudutkan mereka, karena mereka adalah tanggung jawab pendidik.
Surah Al Hujurat ayat 11
((((((((((( ((((((((( (((((((((( (( (((((((( (((((( (((( (((((( (((((( ((( (((((((((( ((((((( ((((((((( (((( (((((((( (((( ((((((((( (((((( ((( (((((( ((((((( ((((((((( ( (((( (((((((((((( ((((((((((( (((( (((((((((((( ((((((((((((( ( (((((( (((((((( ((((((((((( (((((( (((((((((( ( ((((( (((( (((((( (((((((((((((( (((( ((((((((((((( ((((
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka Itulah orang-orang yang dzalim.
Asbabun Nuzul
Diriwayatkan bahwa ayat ke 11 dari surah al Hujurat diturunkan berkenaan dengan tingkah laku kabilah Bani Tamim yang pernah berkunjunng kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam, lalu mereka memperolok-olok beberapa sahabat yang fakir dan miskin seperti ‘Ammar, Suhaib, Bilal, Khabbab, Salman Al-Farisi dan lainnya karena pakaian mereka sangat sederhana.
Ada pula yang mengemukakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kisah Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab yang pernah datang menghadap Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam, melaporkan bahwa beberapa perempuan di Madinah pernah menegurnya dengan kata-kata yang menyakitkan hati seperti, “Hai perempuan Yahudi, keturunan Yahudi, dan sebagainya”. Sehingga Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadanya, “Mengapa tidak kau jawab saja, ayahku Nabi Harun, pamanku Nabi Musa dan suamiku Muhammad.”
Selain itu, ada juga yang mengaitkan dengan situasi di Madinah. Ketika Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam tiba di sana, orang-orang Anshar banyak yang mempunyai nama lebih dari satu. Jika mereka dipanggil oleh kawan mereka, yang kadang-kadang dipanggil dengan panggilan yang tidak disukainya dan setelah hal tersebut dilaporkan kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam maka turunlah ayat ini.
Munasabah
Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah telah menjelaskan bagaimana mendamaikan dua kelompok muslimin yang bertikai dan sesama orang Islam adalah saudara. Lalu dijelaskan pada ayat ini bagaimana sebaiknya pergaulan orang-orang yang beriman. Di antaranya, mereka dilarang memperolok-olok saudara mereka dengan memanggil mereka dengan gelar yang buruk atau berbagai tindakan yang menjurus ke arah permusuhan dan kedzaliman.
Makna kata
وَ لاَ تَلْمِزُوْا
Kata talmizuu berarti memberi isyarat disertai dengan berbisik-bisik dengan maksud mencela. Ejekan ini biasanya langsung ditujukan kepada seseorang yang diejek, baik dengan isyarat mata, bibir, kepala, tangan atau yang lainnya.
Dalam ayat ini Allah melarang kita untuk melakukan lamz terhadap diri sendiri (talmizu anfusakum), padahal yang dimaksud adalah orang lain. Pengungkapan anfusakum dimaksudkan bahwa antara sesama manusia adalah saudara dan satu kesatuan, sehingga apa yang diderita oleh saudara kita artinya diderita juga oleh diri kita sendiri. Maka siapa yang mencela atau mengejekorang lain sesungguhnya dia telah mengejek dirinya sendiri. Kalimat tersebut juga dapat diartikan agar tidak melakukan suatu tindakan yang membuat orang lain mengejek dirinya.
وَ لاَ تَنَابَزُوْا
Kata tanaabazuu berarti memberikan julukan dengan maksud mencela. Tanaabazuu melibatkan dua pihak yang saling memberikan julukan, atau gelar yang buruk. Hampir sama maknanya dengan lamz. Hanya saja dalam kata taanabazuu ada makna keterusterangan dan timbal balik. Seseorang yang melakukan lamz belum tentu di hadapan orang yang dicelanya.
Penafsiran
Pada ayat tersebut, Allah mengingatkan orang-orang yang beriman supaya jangan ada suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang mengolok-olokkan. Begitu pula di kalangan perempuan, jangan ada segolongan perempuan yang mengolok-olok perempuan yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu di sisi Allah jauh lebih baik dari perempuan-perempuan yang mengolok-olok.
Allah melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum mukninin semuanya harus dipandang sebagai satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan. Allah melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk seperti hai fasik, hai kafir dan sejenisnya.
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dikatakan bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupamu dan harta kekayaanmu, akan tetapi Dia memandang kepada hati dan perbuatanmu”.
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa seorang hamba tidak boleh memastikan kebaikan dan keburukan seseorang semata-mata kerena melihat kepada perbuatannya saja, sebab ada kemungkinan seseorang tampak mengerjakan kebajikan padahal Allah melihat di dalam hatinya ada sifat yang tercela. Begitupun sebaliknya, mungkin ada orang yang kelihatannya melakukan suatu keburukan tapi Allah melihat di dalam hatinya ada rasa penyesalan yang besar yang mendorongnya bertaubat dari dosanya. Jadi, perbuatan yang tampak di luar itu hanya merupakan tanda-tanda saja yang (sering) menimbulkan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai pada tingkatan meyakinkan.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini menerangkan bahwa ada seorang laki-laki yang pernah pada masa mudanya mengerjakan perbuatan buruk, lalu ia bertaubat dari dosanya, maka Allah melarang siapa saja yang menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa yang lalu karena hal itu dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik. Itulah sebabnya Allah melarang memanggil dengan panggilan dan gelar yang buruk.
Adapun panggilan yang mengandung penghormatan tidak dilarang, seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan As-Siddiq, kepada ‘Umar dengan Al-Faruq, kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah, dan sebagainya.
Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapakan setelah orangnya beriman karena gelar-gelar itu mengingatkan pada kedurhakaan yang telah lewat dan tidak pantas dilontarkan.
Relevansi dalam pendidikan
Antara pendidik dan peserta didik hendaknya tidak saling menjelek-jelekkan, saling berhusnudzan dan senantiasa mengingatkan dalam hal kebaikan.
Pendidik tidak boleh memanggil peserta didik dengan panggilan yang buruk, begitu pula sebaliknya.
Pendidik memperlakukan peserta didiknya dengan baik, sesuai batas kewajaran, tidak merendahkan mereka karena pada hakikatnya semua manusia adalah sama di hadapan Allah.
PENUTUP
Kesimpulan :
Pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab tidak hanya mentranferkan ilmu pengethuan, namun juga bertugas mendidik, mengarahkan, memotivasi dan sebagai fasilitator bagi peserta didiknya.
Peserta didik ialah mereka yang memiliki potensi, bakat dan minat namun masih memerlukan bimbingan, dan arahan dari pendidik.
Dalam surah al-Kahfi ayat 80-82, Allah menjelaskan bahwa menuntut ilmu itu tanpa batas meskipun seseorang itu sudah dalam tingkatan tinggi.
Dalam surah al-Baqarah ayat 286, Allah menjelaskan kepada kita untuk senantiasa memohon dan berdo’a kepada-Nya, agar kita selalu siap menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam surah Ali Imran ayat 159, Allah memerintahkan kita untuk senantiasa berlemah lembut kepada sesama, bermusyawarah dalam segala urusan serta memaafkan kesalahan orang lain.
Dalam surah al-Hujurat ayat 11, Allah melarang kita untuk mengolok-olok orang lain dan menjelek-jelekkan mereka baik dalam perkataan, isyarat, maupun dalam hal perbuatan.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan Langgulung.1988. “Pendidikan Islam Menghadapi Abad Ke-21”. Jakarta : Pustaka Al-Husna
Ibrahim bin Sulaiman al-Huwaimil. ”Silsilah Manaahij Dawraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah-Fi`ah an-Naasyi`ah”.
Tafsir al-Maraghi oleh Ahmad Musthafa Al-Maraghi jilid 3 oleh penerbit toha putra, semarang 1993
Terjemah tafsir al maraghi juz 16, 17, 18
Tafsir Al-Qurthubi; penerjemahm Dusi Rosyadi, Nashirul Haq, Fathurrahman, editor, Ahmad Zubairin. 2008. Jakarta: Pustaka Azzam
Hamka. 1980.”Tafsir Al-Azhar”. Jakarta: Pustaka Panjimas.