Senin, 09 Januari 2017

Instrumen (kel. 10)

INSTRUMEN PENGAJARAN DALAM AL-QUR’AN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Qiroatul Kutub Tafsir Tarbawi
yang diampu oleh Darul Muntaha, S.Sos.I, M.Pd.I










Disusun Oleh:
Linda Wulansari
Isma Alif Romla
Siti Atikah


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah menciptakan kita dan senantiasa meridhoi amal ibadah kita. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang selalu kita nantikan pertolongannya di Hari Akhir nanti, Amiin.
Makalah berjudul Instrumen Pengajaran dalam Al-Quran ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diampu oleh Bapak Darul Muntaha, S.Sos.I, M.Pd.I. Ucapan terima kasih kepada beliau yang telah membimbing penyusun dalam menyusun makalah ini. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari materi maupun penyusunannya. Oleh karena itu, penyusun memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan yang terdapat dalam makalah ini. Penyusun akan sangat berterima kasih apabila pembaca berkenan untuk memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kemajuan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan pembaca, Amiin.

Wonosobo, 08 Desember 2016

Penyusun












BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Instrumen yaitu sesuatu  yang dapat digunakan untuk mempermudah seseorang untuk melakukan tugas atau mencapai tujuan secara efektif  atau efisien. Instrumen disebut juga sebagai alat
Dalam bidang pelajaran instrumen diginakan untuk mengukur prestasi belajar siswa, faktor-faktor yang diduga mengenai sehubungan atau berpengaruh terhadap hasil belajar, perkembangan hasil belajar siswa, keberhasilan proses mengajar guru dan keberhasilan pencapaian suatu program tertentu. Dalam al-Qur’an dalam beberapa surat disebutkan tentang instrumen pengajaran diantaranya di dalam surat Al-An’am, Surat al-Ra’du dan surat Al-Ghasiyyah yang akan kami bahas dalam makalah kami berikut ini.
Rumusan Masalah
Bagaimana penjelasan surat Al-An’am ayat 74-83?
Bagaimana penjelasan surat Ar-Ra’du ayat 2?
Bagaimana penjelasan surat Al-Ghasiyyah Yt 18-20?















BAB 11
PEMBAHASAN

Q.S Al-An’am ayat 74-83
1.      Ayat 74
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ
Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata."
Disifatinya kesesatan dengan nyata untuk menjelaskan apa yang telah terjadi pada diri mereka, sebagaimana diisyaratkan oleh bahasa, seperti firman Allah ta’ala kepada Rasulullah saw, “ Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk” (Ad Dhuha, 93:7).
Dan seperti perkataan anda kepada orang yang anda lihat menyimpang dari jalan yang ditempuhnya, “Sesungguhnya jalan itu dari sini, tetapi anda menyimpang darinya.”
2.      Ayat 75
وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.”
Semua itu Kami perlihatkan adanya, agar dia mengetahui sunnah Kami terhadap makhluk, kebijaksanaan Kami di dalam mengatur jerajaan, dan ayat-ayat yang menunjukan Rububbiyah Kami. Supaya dengan itu, dia dapat menegakan hujjah terhadap orang-orang musyrik yang sesat, dan supaya dia sendiri termasuk orang-orang yang benar-benar yakin sampai ketingkat ‘ainul-yaqin.
Kemudian Allah Ta’ala merinci kerajaan langit dan bumi yang diperlihatkan kepadanya secara global. Dia berfirman :

3.      Ayat 76
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".
“Dengan segala sesuatu Dia mempunyai tanda menunjukan bahwa Dia Maha Esa”
Juga yang batin dalam segala sesuatu dengan kebijaksanaan dan kehalusannya, “ Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dia-lah Yang Maha halus lagi Maha Mengetahui”. (Al An’am, 6:103).
Di dalam hadits, ketika kejelasan makna ikhsan diungkapkan, “ Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, kalaupun kamu tidak dapat melihatNya, maka sesungguhnya dia melihatmu.”
Ringkasnya, ayat ini mengisyaratkan kebodohan kaumnya didalam menyembah sesuatu yang tidak terlihat oleh mereka dan tidak tahu sedikit pun tentang urusan ibadah mereka kepadanya. Makna ini lebih dekat dengan perkataannya kepada bapaknya, “ Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?” (Maryam, 19:42).

4.      Ayat 77
فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ
“Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat."
Disini terdapat sindiran yang lebih pantas dikatakan terdapat keterusterangan kesesatan kaumnya, dan isyarat kepada bergantungannya hidayah Ad Din pada wahyu Illahi. Disini, sindiran meningkat karena hujjah lawan bicara telah terpojok dengan pembuktian pertama, sehingga keyakinan mereka termodali. Ibrahim baru menyindir kesesatan setelah dia yakin, bahwa mereka mau mendengarkan maksud terakhir dari pembicaraannya. Dalam langkah ketiga, dia beralih dari sindiran kepada terus-terang, menyatakan kebesarannya dari mereka, dan bahwa mereka benar-benar berada dalam kemusrikan yang nyata. Hal ini setelah kebenaran benar-benar nampak.

5.      Ayat 78
فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ
“Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
Ringkasnya, dia memutar balik dan mengulur-ulur pembicaraan dengan penuh kelembutan hingga sampai kepada apa yang dia kehendaki dengan cara yang terbaik dan halus, sambil membebaskan diri dari sesembahan-sesembahan yang mereka jadikan Tuhan dan tuhan-tuhan selain Allah itu.
Setelah membebaskan diri dari kemusrikan mereka itu, dia menutup dengan menjelaskan akidahnya akidah yang murni, dia berkata,
6.      Ayat 79
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Ringkasnya, Ibrahim berlepas diri dari kemusrikan mereka atau sekutu-sekutu mereka, kemudian dari diri mereka sendiri. Senada dengan ayat ini ialah firman Allah dalam Q.S. Al Mumtahah ayat 4 yang berbunyi, “Sesungguhnya telah ada tauladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian’.
Secara lahir, apa yang diceritakan Allah tentang Ibrahim as, adalah bahwa kaumnya menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan, bukan sebagai pencipta yang menjadikan bintang-bintang sekaligus sebagai pencipta tuhan-tuhan. Allah ialah sembahan. Setiap yang menyembah sesuatu maka dia telah menjadikannya Tuhan Ar –Rabb ialah yang menguasai, memelihara, mengatur dan bebas berbuat. Makhluk tidak mempunyai Tuhan selain Allah yang menciptakan mereka. Dia lah yang menguasai segala sesuatu disetiap zaman dan keadaan, sedangkan kerajaan selain Allah bersifat kurang dan sementara. Dial ah yang berhak disembah. Ibadah ialah menghadapkan diri dengan berdoa dan mengagungkan, baik bersifat perkataan maupun perbuatan kepada Tuhan yang mempunyai kekuasaan tertinggi, yang menciptakan, mengadakan dan bebas untuk bertindak terhadap makhluk.
7. Ayat 80
((((((((((( ((((((((( ( ((((( (((((((((((((((( ((( (((( (((((( ((((((( ( (((( ((((((( ((( ((((((((((( (((((( (((( ((( (((((((( (((((( ((((((( ( (((((( (((((( (((( (((((( ((((((( ( (((((( ((((((((((((( ((((
“80. dan Dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: ‘Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, Padahal Sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku.’ dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka Apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) ?’
Maksudnya, di antara bukti kesalahan pendapat kalian itu adalah ilah-ilah yang kalian sembah itu tidak dapat memberikan pengaruh sama sekali dan aku tidak takut dan tidak pula mempedulikannya. Jika ia dapat melakukan tipu daya, biarlah ia memperdayaku. Jangan kalian tunda-tunda lagi, segerakanlah hal itu padaku.
8. Ayat 81
(((((((( ((((((( (((( (((((((((((( (((( (((((((((( (((((((( ((((((((((( (((((( ((( (((( ((((((((( ((((( (((((((((( (((((((((( ( (((((( ((((((((((((((( (((((( (((((((((( ( ((( ((((((( ((((((((((( ((((
81. bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), Padahal kamu tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukanNya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui?
Maksudnya, kelompok manakah yang lebih benar: apakah kelompok yang beribadah kepada Allah yang di Tangan-Nya terdapat mudharat dan manfaat, ataukah yang beribadah kepada dzat yang tidak dapat memberikan mudlarat dan manfaat dan tanpa dalil ? Manakah di antara dua kelompok tersebut yang lebih aman dari adzab Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya pada hari kiamat kelak ?
9.Ayat 82
((((((((( (((((((((( (((((( (((((((((((( ((((((((((( (((((((( (((((((((((( (((((( (((((((( ((((( (((((((((((
82. orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Maksudnya, mereka itulah orang-orang yang mengikhlaskan ibadahnya hanya kepada Allah semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan mereka juga tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mereka itulah orang-orang yang pada hari kiamat kelak akan mendapat keamanan dan mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.

10.Ayat 83
(((((((( (((((((((( (((((((((((((( (((((((((((( (((((( ((((((((( ( (((((((( ((((((((( ((( (((((((( ( (((( (((((( ((((((( ((((((( ((((
dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.”
Al-Bukhari berkata dari Abdullah, ia mengatakan: “Ketika turun ayat: alladziina aamanuu wa lam yalbisuu iimaanaHum bidhulmin (“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedhaliman [syirik],”) maka para shahabat berkata: ‘Siapakah di antara kita yang tidak berbuat dhalim pada dirinya sendiri [berbuat dosa]?’ maka turunlah ayat: innasy-syirka ladhulmun ‘adhiim (“Sesungguhnya syirik itu benar-benar merupakan kedhaliman yang besar.”) (Luqman: 13).”Firman-Nya selanjutnya: wa tilka hujjatunaa aatainaaHaa ibraaHiima ‘alaa qaumiHii (“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.”) maksudnya Kami arahkan hujjahnya untuk menghadapi mereka.Mujahid dan ulama lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan hal itu adalah firman-Nya: wa kaifa akhaafu maa asyraktum Wa laa takhaafuuna anna kum asyraktum billaaHi (“Bagaimana aku takut kepada ilah-ilah yang kamu persekutukan [dengan Allah]? Padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah.”)
wa tilka hujjatunaa aatainaaHaa ibraaHiima ‘alaa qaumiHii narfa’u darajaatim man nasyaa-u (“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat.”)Ayat di atas bisa dibaca dengan menggunakan idhafah dan bisa juga tidak menggunakannya, sebagaimana yang terdapat dalam surat Yusuf, da makna keduanya mempunyai kedekatan.”Inna rabbaka hakiimun ‘aliim (“Sesungguhnya Rabbmu Mahabijaksana lagi Mahamengetahui.”) maksudnya, Dia Mahabijaksana dalam ucapan dan perbuatan-Nya. ‘Aliim (“Mahamengetahui”) maksudnya siapa-siapa yang diberi-Nya petunjuk dan siapa-siapa pula yang disesatkan-Nya.
Q.S Ar-Ra’du ayat 2
ٱللَّهُ ٱلَّذِي رَفَعَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ بِغَيۡرِ عَمَدٖ تَرَوۡنَهَاۖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ وَسَخَّرَ ٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَۖ كُلّٞ يَجۡرِي لِأَجَلٖ مُّسَمّٗىۚ يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَ يُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّكُم بِلِقَآءِ رَبِّكُمۡ تُوقِنُونَ ٢

“ Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini Pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.” (ar-Ra’du: 2)
Allah memberitahukan tentang kesempurnaan dan kebesaran kekuasaan-Nya yang dengan izin dan perintah-Nya meninggikan langit tanpa tiang, bahkan dengan izin, perintah dan kekuasan-Nya mengangkat langit dari bumi sampai jarak yang tidak dapat dicapai dan diketahui bilangan jaraknya. Langit yang terdekat mengelilingi bumi seluruhnya dan semua yang ada di sekitarnya berupa air dan udara di semua arah dan penjuru, tegak di atasnya dari segala sisi secara merata dan dengan jarak yang sama antara langit dan bumi dari semua arah, yakni sejauh perjalanan limaratus tahun, dan tebalnya juga sejauh perjalanan limaratus tahun. Kemudian terdapat langit kedua yang mengelilingi langit pertama [terdekat] dan ada yang ada padanya, dan jarak antara kedua langit itu sejauh perjalan limaratus tahun, dengan ketebalan seperti itu juga.
Demikian juga halnya dengan langit ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh. Sebagaimana firman Allah: AllaaHulladzii khalaqa sab’a samaawaati wa minal ardli mitslaHunna (“Allah yang telah menciptakan tujuh langit, dan dari bumi seperti itu juga.”)(ath-Thalaaq: 12). Firman Allah: bighairi ‘amadin taraunaHaa (“Tanpa tiang sebagaimana yang kamu lihat.”) diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, al-Hasan, Qatadah dan lain-lain, mereka mengatakan: “Langit itu mempunyai tiang-tiang, tetapi tidak dapat dilihat.” Iyas bin Mu’awiyah berkata: “Langitdi atas bumi bagaikan kubah.” Maksudnya tanpa tiang. Pendapat ini diriwayatkan juga oleh Qatadah, dan pendapat inilah yang sesuai dengan susunan kaliamat dalam ayat ini, dan makna yang jelas dari firman Allah Ta’ala: wayumsikus samaa-a taqa’a ‘alal ardli illaa bi-idzniHi (“Dan Allah menahan langit agar tidak jatuh ke atas bumi, kecuali dengan izin-Nya.”)(al-Hajj: 65). Berdasarkan hal tersebut maka firman Allah Ta’ala: taraunaHaa (“Sebagaimana yang kalian lihat”) adalah penegasan kepada tidak adanya tiang. Maksudnya, langit itu ditinggikan tanpa tiang sebagaimana yang kalian lihat. Dan hal ini adalah kekuasaan yang paling sempurna. Firman Allah: tsummastawaa ‘alal ‘arsyi (“Kemudian Allah bersemayam di atas ‘Arsy”) penafsirannya telah dibahas dalam surah al-A’raaf. Dan Dia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ayat ini diperlakukan [ditetapkan] sesuai apa adanya tanpa takyif [menanyakan bagaimananya], tasybih [menyerupakan dengan makhluk], ta’thil [meniadakan sifat-sifat-Nya] dan tamtsil [menyamakan Allah dengan makhluk]. Allah Mahatinggi dari semua itu. Firman Allah: wa sakhkharasy syamsa wal qamara yajrii li ajalim musammaa (“Dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan.”) ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah, matahari dan bulan itu berjalan terus sampai berhenti karena terjadi [hari] kiamat, seperti firman Allah: wasy syamsu tajrii limustaqarrillaHaa (“Dan Matahari itu berjalan pada tempat peredarannya.”)(Yaasiin: 38). Sebagian mengatakan, bahwa maksud ke tempat peredarannya itu, yaitu berada di bawah ‘Arsy di atas permukaan bumi dari sisi lain, karena matahari dan bulan serta bintang-bintang [planet-planet] lainnya bila telah sampai kesana berarti telah sampai ke tempat yang paling jauh dari ‘Arsy, karena yang benar berdasarkan dalil-dalil, ‘Arsy itu merupakan kubah yang berada di atas [menaungi] seluruh alam menurut pengertian ini, dan tidak mengelilingi seperti falak-falak lainnya, karena ‘Arsy mempunyai penyangga, dan pembawa yang mengangkatnya.
Hal seperti ini tidak dapat dibayangkan terdapat pada falak yang berbentuk bulat dan hal ini tampak jelas bagi orang yang mau merenungkan apa yang disampaikan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih, segala puji dan anugerah hanya milik Allah.
Allah Ta’ala hanya menyebutkan matahari dan bulan saja dalam ayat ini karena keduanya merupakan bintang [planet] yang paling nampak jelas dari tujuh planet yang berjalan, yang lebih mulia dan lebih besar daripada bintang [planet] yang tetap diam. Jika Allah mampu menundukkan matahari dan bulan yang berjalan ini, maka Dia tentu lebih kuasa menundukkan dan mengatur bintang-bintang atau planet-planet lainnya, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah yang artinya: “Janganlah kamu bersujud menyembah kepada matahari dan janga pula kepada bulan, tetapi sujudlah kepada Allah yang telah menciptakannya, bila kamu memang beribadah kepada-Nya.” (Fushshilat: 37). Dan Allah pun telah menegaskan hal itu dengan firman-Nya yang artinya: “Matahari, bulan dan bintang-bintang itu semua tunduk kepada perintah-Nya. ingatlah, menciptakan dan memerintahkan itu hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (al-A’raaf: 54). Firman Allah: yufashshilul aayaati la’allakum biliqaa-i rabbikum tuuqinuun (“Menjelaskan tanda-tanda [kebesaran-Nya], supaya kamu meyakini pertemuan kamu dengan Rabb-mu.”) maksudnya, Allah menerangkan ayat-ayat dan tanda-tanda yang menunjukkan, bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa Allah akan mengembalikan seluruah makhluk jika menghendaki sebagaimana Dialah yang pertama kali menciptakannya.
       ANALISIS
Ada dua asal penciptaan ibadah kepada selain Allah, seperti kepada batu, matahari, bulan dan sebagainya.
Pertama, sebagai orang yang lemah akalnya melihat beberapa manifestasi kekuasaan Allah Ta’ala pada sebagian makhlukNya. Mereka mengira bahwa yang demikian itu bersifat dzati (yang sebenarnya) bagi makhluk ini, bukan sebagai akibat dari sunah-sunah Allah yang dapat dijadikan sebagai sebab-musabab.
Kedua, dijadikannya sebagian makhluk yang mempunyai kekhususan untuk memberikan manfaat atau mudharat, sebagai perantara kapada Tuhan yang Hak guna memberikan syafa’at di sisiNya dan mendekatkan kepada Allah bagi setiap orang yang menghadapkan diri. Maka orang yang mempunyai kebutuhan, memohon dan mengagungkan (makhluk) dengan perkataan maupun perbuatan, dengan anggapan bahwa dengan sebab pengaruh makhluk itulah Allah Ta’ala akan menerima permohonannya.
Diantara makhluk yang mereka buat sebagai pernatara ini ialah patung, berhala, kuburan dan lain sebagainya. Inila syirik yang dilakukan orang-orang Arab pada masa diutusnya Nabi SAW. Oleh sebab itu, ketika tawaf di Baitul Haram, mereka berkata, “Kusambut panggilan Mu, tidak ada sekutu bagi Mu, kecuali sekutu yang ia adalah milik Mu, Engkau dan segala apa yang ia miliki.”
Ibrahim telah membawa hujjah yang sempurna. Dia mencurahkan ibadahnya hanya kepada Allah, Pencipta langit dan bumi, tanpa melalui perantara. Mengenai patung-patung yang mereka buat, Ibrahim berkata, “Sebenarnya Tuhan kalian Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya, dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu”. (Al An Biya, 21 ayat 56)

Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20
Ayat dan terjemah
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى ٱلۡإِبِلِ كَيۡفَ خُلِقَتۡ ١٧  وَإِلَى ٱلسَّمَآءِ كَيۡفَ رُفِعَتۡ ١٨ وَإِلَى ٱلۡجِبَالِ كَيۡفَ نُصِبَتۡ ١٩  وَإِلَى ٱلۡأَرۡضِ كَيۡفَ سُطِحَتۡ ٢٠
17. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan
18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan
19. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan
20. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan

Asbabunnuzul
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan”
Ayat ini turun ketika Allah membeberkan keadaan dan rahasia surga. Kaum yang sesat merasa heran. Ayat ini (88:17) merupakan perintah Allah untuk memperhatikan alam semesta ( fenomena alam seperti bagaimana unta di ciptakan ), dan lain sebagainya.

Penjelasan ayat
Ayat 17-18
اَفَلَايَنْظُرُ ونَ اِلَى الْاِبْلِ كَيْفَ خُلِقَثْ:  17
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan”
Arti kata: افلا “maka apakah tidak”ينظرون “mereka memperhatikan” ال الابل “terhadap unta” كيف “ bagai mana” خلقث “dia di ciptakan?”
وَاِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ: 18
Artinya:” dan langit, bagai mana di tinggikan”
Arti kata:    والاالسماء” dan langit” كيف  “bagaimana” رفعت bentuk diatetis pasif (majhul=tidak di ketahui) artinya: “(ia) “ditinggikan?”
Penjelasan ayat:
seseorang yang hidup dalam abad ke-IX akan mengatakan bahwa kata-kata “sama” artinya langit, dan pengertiannya ialah bahwa langit itu adalah bola super raksasa yang panjang radiusnya tertentu, yang berputar mengelilingi sumbunya. Dan pada dindingnya tampak menempel bintang-bintang yang gemerlapan di malam hari. Bola ini di katakana mewadahi seluruh ruang alam dan segala sesuatu yang berada di dalamnya. Ia merasa yakin bahwa presepsinya mengenai langit itulah yang sesuai dengan apa yang dapat di amati setiap hari, kapan pun juga. Bintang-bintang tampak tidak berubah posisinya yang satu dengan yang lain, dan seluruh langit itu berputar sekali dalam satu hari (siang dam malam).
Apa yang kita dapat dari orang ini andai kata dia di minta untuk memberikan penafsiran (bukan sekedar salinan kata-kata) pada ayat-ayat tersebut? Tentu saja ia akan memberikan interpretasi yang sesuai dengan presepsinya tentang langit, serta “ardh” yaitu bumi yang datar yang di kurung oleh bola langit. Dan mungkin sekali ia akan mengatakan bahwa ayat 30 surat Al-anbiya’ itu melukiskan peristiwa ketika tuhan mengebutkn langit menjadi bola, setelah ia sekian lama terhampar di permukaan bumi seperti layaknya sebuah benda yang belum di pasang. Dapat kita lihat dalam kasus ini bahwa konsep kosmologis dalam Al-Qur’an mengenai penciptaan alam semesta. Dan tidak benar, Karena konsepnya tidak mampu mengakomodasi gejala yang dinyatakan oleh ayat 47 surahAdz Dzariyat.
Sebuah langit yang berbentuk bola dengan jari-jari tertentu bukan langit yang bertanbah luas. Apalagi kalau ia melingkupi seluruh ruang kosmos beserta isinya, tidak ada lagi sesuatu yang labih besar daripadanya. Pada hemat saya, sesuatu konsepsi mengenai alam semesta yang benar harus dapat di pergunakan untuk menerangkan untuk menerangkan semua peristiwa yang di lukiskan dalam ayat-ayat dalam kitab suci. Ia harus sesuai dengan konsep-konsep kosmalogis yang benar itu pada hakekatnya telah di berikan petunjuk oleh sang pencipta misalnya di dalam ayat 17-18 surat al-ghasyiyah.
Ayat 19-20
وَاِلَى الْخِبَالُ كَيْفَ نُصِبَتْ: 19
Artinya: “ dan gunung-gunung bagai mana dia di tegakkan”
Arti kata: والي الخبل “dan gunung-gunung” كيف “bagaimana” نصبت “(ia) ditegakkan?”
وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ: 20
Artinya: “dan bumi bagaimana di hamparkan?”
Arti kata: والى الارض “ dan bumi” كيف “bagaimana” سطحت “dihamparkan?”
Penjelasan ayat:
Pada ayat ke 19, Allah mengajak manusia untuk memperhatikan bagaimana gunung itu ditegakkan. Ada beberapa ayat lain, yang ada kaitan dengan masalah gunung, seperti al-Nahl 15:
“ Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu”. (QS: An-Nahl: 15)
Ayat ini mengisyaratkan gunung sebagai pasak atau paku bumi, yang dapat menjaga keseimbangan bumi agar tidak goncang, dan telah dibuktikan secara ilmiah terdapat kesesuaian distribusi dan penyebaran gunung secara merata di persada bumi ini.
Peran gunung dalam menjaga keseimbangan permukaan bumi sangat jelas sekali. Khususnya gunung yang disebut oleh ahli geologi dengan barisan pegunungan (mountain chain) lipatan. Pegunungan ini tersebar di beberapa benua di dunia. Dan di bawah kulit bumi telah ditemukan, bahwa lapisan kulit bumi memiliki ketebalan antara 30-60 km. Penemuan ini diperoleh melalui peralatan yang canggih seperti alat yang bernama seismograf yang mampu mengetahui bahwa semua gunung memiliki akar terhunjam dilapisan yang liat untuk menguatkan lapisan kulit bumi yang paling tinggi dan keras seperti fungsi sebuah pasak. Gunung juga bekerja sebagai penahan benua-benua dari hantaman batu-batu karang yang mengalir di bawah kulit bumi yang keras ini. Bila akar gunung yang sangat kokoh tidak ada, maka lapisan kulit bumi akan menjadi sangat lunak. Sehingga, tidak ada lagi keseimbangan dan kekokohannya.
Pada ayat 20, Allah mengajak manusia untuk berfikir bagaimana bumi itu dihamparkan. Ayat ini mengisyaratkan bentuk bumi. Sehingga pertanyaan yang muncul apakah bumi bulat atau terhampar?
Seandainya bumi datar, maka mesti hanya ada satu tempat terbit dan satu tempat terbenam. Tetapi karena bumi bulat, ketika matahari berada di timur bumi, ia akan menyinari sisi bagian timur saja, dan membuat gelap sisi bumi bagian barat, karena terhalang mendapatkan cahaya. Demikian pula yang terjadi sebaliknya. Ayat yang juga menunjukkan bumi bulat surat al-Zumar 5:
”Dia menggulungkan malam atas siang dan menggulungkan siang atas malam”. (QS: Az-Zumar: 5)
Istilah bergulung tidak sempurna dilakukan kecuali oleh benda yang bulat. Bukti yang paling meyakinkan adalah hasil dari pemotretan kamera canggih dari satelit buatan yang telah mengabadikan beberapa bentuk gambar bumi bulat, dilihat dari ruang angkasa.
Nilai tarbawi Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20
Dalam kaitannya dengan pendidikan ayat ini manusia diperintahkan untuk memperhatikan apa yang ada di bumi ini, dalam bahasa pendidikan ini disebut observasi atau penelitian. Kebangkitan kembali ilmu pengetahuan (scientific renaissance) yang timbul di dunia barat adalah berkat pengamatan yang cermat serta eksperimen terhadap gejala-gejala yang terdapat pada alam materi. Sekalipun kita tidak dapat mengakui orientas mutlak dari hukum-hukum demikian itu, namun kita membenarkan bahwa hukum-hukum tersebut memberikan otentisitas dan ketetapan maksimum yang mungkin diperoleh. Hukum-hukum ini secara berangsur-angsur bergerak menuju kesempurnaan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dengan berlakunya masa dan meluasnya ilmu pengetahuan manusia, serta dengan semakin berkembangnya kecermatan di bidang pengamatan (observasi), maka para ilmuan dari waktu ke waktu memperkenalkan perubahan dan modifikasi dalam bebbagai hukumilmiah itu untuk lebih mendekatkannya kepada kenyataan, atau agar ia lebih memberikan hasil guna.








BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Q.S Al-An’am Disini terdapat sindiran yang lebih pantas dikatakan terdapat keterusterangan kesesatan kaumnya, dan isyarat kepada bergantungannya hidayah Ad Din pada wahyu Illahi. Disini, sindiran meningkat karena hujjah lawan bicara telah terpojok dengan pembuktian pertama, sehingga keyakinan mereka termodali. Ibrahim baru menyindir kesesatan setelah dia yakin, bahwa mereka mau mendengarkan maksud terakhir dari pembicaraannya. Dalam langkah ketiga, dia beralih dari sindiran kepada terus-terang, menyatakan kebesarannya dari mereka, dan bahwa mereka benar-benar berada dalam kemusrikan yang nyata. Hal ini setelah kebenaran benar-benar nampak.
Allah memberitahukan tentang kesempurnaan dan kebesaran kekuasaan-Nya yang dengan izin dan perintah-Nya meninggikan langit tanpa tiang, bahkan dengan izin, perintah dan kekuasan-Nya mengangkat langit dari bumi sampai jarak yang tidak dapat dicapai dan diketahui bilangan jaraknya.
Q.S Al-Ghasiyah ayat 17 s/d 20 perintah Allah ke pada manusia untuk bertafakur tentang alam semesta baik secara material maupun spiritual. Bukankah Allah swt menciptakan semua kejadian itu tidak sia-sia, melainkan ada rahasia yang ada di baliknya. Adalah sebagai bikti atas kekuasaan Allah yang maha kuasa atas segala sesuatu dan sebagai dalil rububiyah dan ilahiyah Allah azza wajalla. Rabbulalamin

Metode (kel. 9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Pembelajaran
BAB II : PEMBAHASAN :
METODE PEMBELAJARAN DALAM AL-QUR’AN
QS. Al-Maidah ayat 67
QS. An-Nahl ayat 125
QS. An-Nahl ayat 11-13
QS. Al-A’raf ayat 176-177
QS. Ibrahim ayat 24-25
QS. Al-ankabut ayat 46
BAB III : PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan islam dapat dilihat dari Al-Qur’an yang merupakan sumber hokum dan pedoman hidup bagi setiap muslim. Didalam Al-Qur’an juga mencakup ayat-ayat tentang pendidikan atau tarbiyah, baik secara tersirat maupun tersurat. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Ada dua buah konsep kependidikan yang berkaiatan dengan yang lainya, yaitu belajar (learning) dan pembelajaran (intruction). Konsep belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik.
Mengajar merupakan istilah kunci yang hamper tak pernah luput dari pembahasan mengenai pendidikan karena keeratan hubungan antara keduanya. Metodologi mengajar dalam dunia pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik, karena keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) bergantung pada cara/mengajar gurunya. Jika cara mengajar gurunya enak menurut siswa, maka siswa akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan, sehingga diharapkan akan terjadi perubahan dan tingkah laku pada siswa baik tutur katanya, sopan santunnya, motorik dan gaya hidupnya.

Tujuan
Membahas serta menhkaji mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan Metode Pembelajaran, yaitu Al-Maidah ayat 67, An-Nahl ayat 125, An-Nahl ayat 11-13, Al-A’raf ayat 176-177, Ibrahim ayat 24-25, Al-Ankabut ayat 46.
Mengetahui Asbabun Nuzul dan tafsir/penjelasan dari ayat-ayat tersebut.
Menjelaskan nilai-nilai tarbawi yang terkandung dalam ayat-ayat yang dibahas tersebut.







BAB II
PEMBAHASAN
METODE PEMBELAJARAN DALAM AL-QUR’AN

Surah al-Maidah ayat 67
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغۡ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَۖ وَإِن لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَهُۥۚ وَٱللَّهُ يَعۡصِمُكَ مِنَ ٱلنَّاسِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٦٧
Artinya : “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.

Penjelasan ayat
Kisah ini diceritakan sangat indah oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 67 ini. Beliau menguraikan: Pada awalnya Nabi merasa takut untuk menyampaikan risalah kenabian. Namun, karena ada dukungan lansung dari Allah maka keberanian itu muncul. Dukungan dari Allah sebagai pihak pemberi wewenang menimbulkan semangat dan etos dakwah nabi dalam menyampaikan risalah. Nabi tidak sendirian, di belakangnya ada semangat “Agung”, ada pemberi motivasi yang sempurna yaitu, Allah SWT. Begitu pun dalam proses pembelajaran harus ada keberanian, tidak ragu-ragu dalam menyampaikan materi. Sebab penyampaian materi sebagai pewarisan nilai merupakan amanat agung yang harus diberikan. Bukankah nabi berpesan ; “yang hadir hendaknya menyampaikan kepada yang tidak hadir”. 
Sehingga Allah berfirman sebagai penegasan dukungan keselamatan: وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ = Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Asbabun Nuzul
Abu Huraira R.A menuturkan bahwa ketika Rasulullah saw beserta para sahabatnya tiba di sebuah desa, mereka (para sahabat) melihat sebatang pohon besar untuk berteduh, dan mereka menyarankan kepada Rasulullah saw untuk berteduh di bawahnya untuk sesaat. Rasulullah saw pun mengiyakan saran para sahabatnya, dan tidur di bawahnya, sedang para sahabat tidur di tempat lain. Saat Rasulullah saw sedang tertidur, tiba-tiba datang seorang badui dengan menghunus pedang dan membangunkan Rasulullah saw sambil berkata, “Wahai Rasulullah, sekarang katakana padaku, siapa ya g dapat menyelamatkanmu dariku?” Beliau menjawab “Allah”. Maka turunlah ayat di atas. (Hadist Hasan, riwayat Ibnu Hibban).

Relevansi dengan pendidikan
Surat Al-Maidah ayat 67
Nilai tarbawy yang dapat diambil dari ayat tersebut di atas, yaitu bahwa metode tabligh adalah suatu metode yang dapat diperkenalkan dalam dunia paendidikan modern. Yaitu suatu metode pendidikan dimanaguru tidak sekadar menyampaikan pengajaran kepada murid, akan tetapi dalam metode itu terkandung beberapa persyaratan guna terciptanya efektivitas proses belajar mengajar. Beberapa persyaratan yang dimaksud adalah :
Aspek kepribadian guru yang selalu menampilkan sosok uswah hasanah, suri tauladan yang baik bagi murid-muridnya.
Aspek kemampuan intelektual yang memadai.
Aspek penguasaan metodologis yang cukup sehingga mampu meraba dan membaca kejiwaan dan kebutuhan murid-muridnya.
Aspek spiritualitas dalam arti pengamal ajaran Islam yang istiqomah.

Apabila keempat persyaratan di atas dipenuhi oleh seorang guru, maka materi yang disampaikan kepada murid akan merupakan qoulan baligha, yaitu ucapan yang komunikatif dan efektif.

Surah An-Nahl ayat 125
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Penjelasa Ayat
Tafsir Al-Jalalain
“Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat atau perkataan yang halus)  dan debatlah mereka dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti menyeru manusia kepada Allah SWT dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujah).  Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Mahatahu, yakni Mahatahu tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia Maha tahu atas orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Maka Allah membalas mereka. Hal ini terjadi sebelum ada perintah berperang. Ketika Hamzah  dibunuh (dicincang dan meninggal dunia pada Perang Uhud)”.
Dari riwayat lain, ayat diatas menjelaskan tentang hubungan antara akidah tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim dahulu dan disempurnakan dengan agama terakhir dengan akidah-akidah menyimpang yang diyakini dan dipegang teguh oleh kaum musyrikin dan kaum Yahudi. Hal itu sebagian dari apa yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an ini untuk dijelaskan kepada manusia. Lalu, Rasulullah pun mengambil jalan Nabi Ibrahim dengan mengajak manusia kepada jalam Rabbnya, dakwah kepada tauhid dengan hikmah dan mau’izah hasanah, dan membantah para penentang akidahnya dengan cara yang lebih baik.
Apabila mereka meyakini beliau dan kaum muslimin, maka beliaupun akan membalasnya dengan hal yang serupa. Kecuali kalau beliau mau memaafkan dan bersabar, meskipun mampu untuk membalas dan balasan yang serupa, seraya meyakini bahwa kesudahan yang baik itu untuk orang-orang yang bertaqwa dan berbuat baik. Beliau tidak merasa sedih atas orang-orang yang belum pendapat petunjuk. Dada beliau juga tidak merasa sesak (dongkol) terhadap makar yang diarahkan kepada beliau dan kaum beriman.
Asbabun Nuzul
Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah saw. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah. Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah saw, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya  ayat tersebut.
Relevansi dengan pendidikan
Nilai tarbawiyah yang dapat diambil dari ayat tersebut di atas menyangkut metode atau cara melakukan dakwah. Ayat tersebut juga mengisyaratkan adanya tiga tipologi manusia dalam kaitannya dengan penyikapan terhadap dakwah dan pendidikan, yaitu:
Mereka yang dengan segala kemampuan nalar dan nuraninya selalu berusaha menemukan kebenaran sejati, untuk mengajak dan mendidik manusia dalam tipe ini cukup dengan metode al-hikmah.
Mereka yang dengan keluguannya atau karena keterbatasan kemampuan berfikirnya selalu menerima  taqlid dalam menerima kebenaran. Untuk mengajak dan mendidik mereka ke jalan Allah swt lebih efektif dengan metode al-mau’idhat al-hasanat.
Mereka yang dengan segala kecongkakannya selalu berusaha menetang kebenaran. Bagi manusia dalam kelompok ini cara berdakwah dan memberikan pendidikannya harus dengan cara jadal (adu argumentasi) tetapi dengan cara-cara lunak dan santun.

Ketiga tipologi tersebut akan ditemukan juga dari siswa oleh setiap guru di sekolah. Ada anak yang kritis, yang baru akan menerima dan mengakui sesuatu yang disampaikan guru kalau ia sudah betul-betul memahaminya. Ada juga anak-anak yang selalu menerima apa yang disampaikan gurunya tanpa mau banyak bertanya ini dan itu. Bahkan ada anak-anak yang selalu membangkang terhadap gurunya. Untuk itu menghadapi ketiga tipologi anak tersebut seoran guru harus pandai memilih metode pendidikan yang tepat.

Surah An-Nahl ayat 11-13
يُنۢبِتُ لَكُم بِهِ ٱلزَّرۡعَ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلنَّخِيلَ وَٱلۡأَعۡنَٰبَ وَمِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ١١ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّهَارَ وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَۖ وَٱلنُّجُومُ مُسَخَّرَٰتُۢ بِأَمۡرِهِۦٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ ١٢ وَمَا ذَرَأَ لَكُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُخۡتَلِفًا أَلۡوَٰنُهُۥٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَذَّكَّرُونَ ١٣
Artinya : Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya). Dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran.

Penjelasan Ayat
Dari ayat diatas menjelaskan tentang hubungan antara akidah tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim dahulu dan disempurnakan dengan agama terakhir dengan akidah-akidah menyimpang yang diyakini dan dipegang teguh oleh kaum musyrikin dan kaum Yahudi. Hal itu sebagian dari apa yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an ini untuk dijelaskan kepada manusia. Lalu, Rasulullah pun mengambil jalan Nabi Ibrahim dengan mengajak manusia kepada jalam Rabbnya, dakwah kepada tauhid dengan hikmah dan mau’izah hasanah, dan membantah para penentang akidahnya dengan cara yang lebih baik.
Apabila mereka meyakini beliau dan kaum muslimin, maka beliaupun akan membalasnya dengan hal yang serupa. Kecuali kalau beliau mau memaafkan dan bersabar, meskipun mampu untuk membalas dan balasan yang serupa, seraya meyakini bahwa kesudahan yang baik itu untuk orang-orang yang bertaqwa dan berbuat baik. Beliau tidak merasa sedih atas orang-orang yang belum pendapat petunjuk. Dada beliau juga tidak merasa sesak (dongkol) terhadap makar yang diarahkan kepada beliau dan kaum beriman.

Surah al-A’raf ayat 176-177
وَلَوۡ شِئۡنَالَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَثۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَاۚ فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ١٧٦ سَآءَ مَثَلًا ٱلۡقَوۡمُ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَا وَأَنفُسَهُمۡ كَانُواْ يَظۡلِمُونَ ١٧٧
Artiny : Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.
Penjelasan Ayat
Kedua ayat ini menguraikan keadaan siapapun yang melepaskan diri dari pengetahuan yang telah dimilikinya. Allah SWT menyatakan bahwa sekiranya Kami menghendaki, pasti Kami menyucikan jiwanya dan meninggikan derajatnya dengannya yakni melalui pengamalannya terhadap ayat-ayat itu, tetapi dia mengekal yakni cenderung menetap terus menerus di dunia menikmati gemerlapnya serta merasa bahagia dan tenang menghadapinya dan menurutkan dengan antusias hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya adalah seperti anjing yang selalu menjulurkan lidahnya.
Kedua ayat diatas juga memberikan perumpamaan orang yang ber pengetahuan, sampai-sampai pengetahuan itu melekat pada dirinya seperti melekatnya kulit pada dagingnya. Namun dia menguliti dirinya dengan melepaskan tuntunan pengetahuannya. Dia diibaratkan seekor anjing yang terengah-engah sambil menjulurkan lidahnya. Biasanya yang terengah-engah adalah yang letih atau kehausan membutuhkan air, tetapi anjing terengah-engah bukan hanya ketika letih ataupun haus, tapi sepanjang hidupnya dia selalu demikian. Sama dengan orang yang memperoleh pengetahuan tetapi terjerumus mengikuti hawa nafsunya. Seharusnya pengetahuan tersebut membentengi dirinya dari perbuatan buruk. 
Dari Ayat tersebut juga bisa jadi tinjauan kita menggunakan metode menakut-nakuti dan memikirkan Nikmat ini telah memfokuskan perhatian mereka terhadap apa yang mereka rasakan berupa nikmat ditempatkannya dimuka bumi, dan dijadikannya bumi itu sebagai tempat tinggal mereka yang dilengkapi berbagai pemenuhan kebutuhan pokok dan kesempurnaan manusia.

Asbabun Nuzul
Terdapat riwayat yang mengatakan bahwa dia adalah seorang laki-laki dari bani Israel yang bernama Bal’am bin Ba’ura’. Riwayat lain mengatakan bahwa orang itu adalah seorang laki-laki dari Palestina yang dictator. Riwayat lain juga mengatakan bahwa dia adalah orang Arab yang bernama Umayyah bin Shalt. Adapula riwayat yang mengatakan bahwa dia adalah seseorang yang hidup sezaman dengan masa Rasulullah, yang bernama Amir al-Fasik. Dan, ada pula riwayat yang mengatakan bahwa orang tersebut semasa dengan Nabi Musa a.s.  Ada lagi riwayat yang mengatakan bahwa dia hidup sepeninggal Nabi Musa a.s , yaitu sezaman dengan Yusya’ bin Nun yang memerangi para dictator bani Israel sesudah mereka kebingungan dan terkatung-katung di padang pasir selama empat puluh tahun. Yakni, sesudah bani Israel tidak mau memenuhi perintah Allah untuk memasukinya dan berkata kepada Nabi Musa a.s.,”Maka pergilah engkau bersama Tuhanmu, lalu perangilah mereka, sedang kami menunggu di sini.”
Diriwayatkan juga di dalam menafsirkan ayat-ayat yang diberikan kepadanya bahwa ayat-ayat itu adalah nama Allah yang teragung. Orang itu berdo’a dengan menyebutnya, lalu dikabulkan do’anya. Sebagaimana juga ada riwayat yang mengatakan bahwa ayat – ayat itu adalah kitab suci yang diturunkan, sedang dia adalah seorang Nabi. Setelah itu, terdapat keterangan yang berbeda-beda mengenai perincian cerita tersebut.

Relevansi dengan pendidikan
Nilai tarbawy yang dapat diambil dari ayat tersebut di atas adalah bahwa Al-Qur’an menyuguhkan Islam sebagai manhaj untuk bergerak. Juga untuk memandu perjalanan manusia langkah demi langkah mendaki puncak tertinggi, sesuai dengan program dan ketentuan-ketentuannya. Di tengah gerak riilnya, Islam membentuk system kehidupan bagi manusia, membangun prinsip-prinsip syariatnya, dan kaidah-kaidah ekonomi, social, dan politik mereka. Kemudian dengan akalnya yang berpedoman pada Islam, manusia menciptakan aturan-aturan hukum fikih, ilmu kealaman, ilmu  jiwa, dan semua kebutuhan hidup praktis mereka yang riil. Mereka menciptakannya, sedang di dalam jiwanya terdapat kehangatan dan motivasi akidah, keseriusan melaksanakan syariat dan merealisasikannya, dan kebutuhan-kebutuhan hidup riil dengan arahan – arahannya.

Inilah manhaj Al-Qur’an di dalam membentuk jiwa muslim dan kehidupan islami. Adapun kajian teoritis yang semata-mata hanya kajian, maka yang demikian inilah ilmu yang tidak dapat melindungi pemiliknya dari kecenderungan kepada kehidupan dunia, dorongan hawa nafsu, dan godaan setan. Ilmu bukan semata-mata pengetahuan. Tetapi, semestinya ia dapat menciptakan akidah yang hangat, bersemangat, dan bergerak untuk mengimplementasikan petunjuknya di dalam hati dan di dalam alam kehidupan.

Surah Ibrahim ayat 24-25
أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا كَلِمَةٗ طَيِّبَةٗ كَشَجَرَةٖ طَيِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتٞ وَفَرۡعُهَا فِي ٱلسَّمَآءِ ٢٤ تُؤۡتِيٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينِۢ بِإِذۡنِ رَبِّهَاۗ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٥
Artinya : Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
1.  Penjelasan Ayat
أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا كَلِمَةٗ طَيِّبَةٗ كَشَجَرَةٖ طَيِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتٞ وَفَرۡعُهَا فِي ٱلسَّمَآءِ ٢٤
Perumpamaan yang disebutkan dalam ayat ini, ialah perumpamaan mengenai kata-kata ucapan yang baik, misalnya kata-kata yang mengandung ajaran tauhid, seperti “La ilaha illallah” atau kata-kata lain yang mengajak manusia kepada kebajikan dan mencegah mereka dari kemungkaran; kata-kata semacam itu diumpamakan sebagai pohon yang baik, akarnya teguh menghujam ke bumi, dan dahannya rimbun menjulang ke langit. Pohon yang baik itu dalam peradaban Indonesia digambarkan “akarnya tempat bersila,batangnya tempat bersandar, daunnya tempat bernaung, dan buahnya lezat dimakan”. Yang berarti memberikan manfaat yang banyak.
Agama Islam mengajarkan kepada umatnya, agar membiasakan diri menggunakan ucapan yang baik, yang berfaedah bagi dirinya, dan bermanfaat bagi orang lain. Ucapan seseorang menunjukan watak dan kepribadiannya serta adab dan sopan santunnya. Sebaliknya, setiap muslim harus menjauhi ucapan dan kata-kata yang jorok, yang dapat menimbulkan kemarahan, kebencian, permusuhan dan menyinggung perasaan atau menimbulkan rasa jijik bagi yang mendengarnya.
تُؤۡتِيٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينِۢ بِإِذۡنِ رَبِّهَاۗ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٥
Dalam ayat ini digambarkan, bahwa pohon yang baik itu selalu memberikan buahnya pada setiap manusia, dengan seizin Tuhannya. Sebab itu manusia yang mengambil manfaat dari pohon itu hendaklah bersyukur kepada Allah, karena pada hakikatnya, bahwa pohon itu adalah rahmat dan nikmat dari Allah SWT.
Demikian pula halnya kata-kata yang baik yang kita ucapkan kepada orang lain, misalnya dalam memberikan ilmu pengetahuan yang berguna, manfaatnya akan didapat oleh orang banyak. Dan setiap orang yang memperoleh ilmu pengetahuan dari seorang guru haruslah bersyukur kepada Allah karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya melalui seseorang adalah karunia dan rahmat dari Allah SWT.
Seperti halnya seorang Ibu dan Ayah dalam rumah tangga haruslah senantiasa mempergunakan kata-kata yang baik dan sopan, serta menjauhi ucapan-ucapan yang kotor dan kasar, karena ucapan-ucapan itu akan ditiru oleh anak-anak mereka.
Asbabun Nuzul
Demi Allah telah terlintas dalam benakku bahwa yang dimaksud adalah pohon kurma. “Beliau berkata, “Mengapa engkau tidak menyampaikannya?” Aku menjawab: “Aku tidak melihat seorangpun berbicara, maka akupun segera berbicara”. ‘Umar ra. Berkata, “Seandainya engkau menyampaikannya maka sungguh itu lebih kusukai dari ini dan itu”. (HR. Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi dan lain-lain).
Berdasar satu riwayat yang menyatakan (‘Abdullah) putra ‘Umar ra. Berkata, bahwa suatu ketika kami berada di sekeliling Rasulullah saw, lalu beliau bersabda, “Beritahulah aku tentang sebuah pohon yang serupa dengan seorang muslim, memberikan buahnya pada setiap musim! “Putra ‘Umar berkata, “Terlintas dalam benakku bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tetapi aku lihat Abu Bakar dan Umar tidak berbicara, maka aku segan berbicara”. Dan seketika Rasulullah saw tidak mendengar jawaban dari hadirin, beliau barsabda, “Pohon itu adalah pohon kurma”. Setelah selesai pertemuan dengan Rasulullah saw itu, aku berkata kepada (ayahku) ‘Umar: “Hai Ayahku!”
Relevansi dengan pendidikan
Nilai tarbawy yang dapat diambil dari ayat tersebut di atas adalah bahwa perumpamaan adalah salah satu metode yang dapat diterapkan dalam proses pendidikan dan pengajaran. Melalui ungkapan-ungkapan pemisalan, anak didik akan mudah memahami materi pelajaran dan akan lebih termotivasi untuk melakukan karya-karya nyata dan positif. Gambaran perumpamaan pada ayat di atas tentang pohon bagus yang akarnya kokoh menancap ke dasar bumi dan cabangnya menjulang ke angkasa untuk sebuah kalimah thayyibah, bertujuan agar obyek yang diajak bicara lebih mudah memahami pentingnya memiliki prinsip tauhid yang kuat dalam menempuh perjalanan kehidupan di dunia ini.

Surah al-Ankabut ayat 46
۞وَلَا تُجَٰدِلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡهُمۡۖ وَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱلَّذِيٓ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَأُنزِلَ إِلَيۡكُمۡ وَإِلَٰهُنَا وَإِلَٰهُكُمۡ وَٰحِدٞ وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ ٤٦
Artinya : Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri".
Penjelasan Ayat
Maka pada ayat ini diterapkan cara berdebat dan memahami ahli kitab, serta menerapkan sikap mereka terhadap dakwah itu dan terhadap Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Sesungguhnya ajaran tentang ke-Esa-an Allah, yang merupakan azaz risalah yang dibawa para Nabi dan Rasul sejak dahulu kala sampai kepada risalah Nabi dan Rasul terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW berasal dari sumber yang satu, yaitu dari Allah Maha Pencipta, dan tujuannya adalah satu pula, yaitu memberi petunjuk kepada manusia dan mengembalikan mereka dari jalan yang sesat ke jalan yang lurus, serta untuk mendidik mereka agar selalu mengikuti ajaran-ajaran Allah, sehingga mereka hidup berbahagia di dunia dan di akhirat nanti. Allah SWT juga menetapkan bahwa setiap orang yang telah mengikuti risalah Nabi dan Rasul yang diutus kepada mereka, masing-masing mereka adalah manusia yang lebih mulia dari yang lain, karena mereka adalah umat yang satu sama-sama menyembah Tuhan yang satu, Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Pencipta.
Berdasarkan hal yang tersebut di atas maka manusia pada setiap kurun, masa dan generasi dapat dibagi kepada dua golongan, yaitu:
Golongan mukmin yang merupakan pendukung agama Allah.
Golongan kafir yang merupakan penentang agama Allah dan termasuk pengikut syetan.
Allah SWT membari petunjuk kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin tentang materi dakwah dan cara menghadapi Ahli Kitab itu adalah karena orang Ahli Kitab tidak menerima seruan Nabi Muhammad yang disampaikan kepada mereka. Ketika Rasulullah SAW menyampaikan kepada mereka kalam Ilahi, kebanyakan dari mereka mendustakannya, hanya sedikit sekali diantara mereka yang memerimanya. Padahal mereka telah mengetahui Muhammad dan ajaran yang dibawanya.
Selanjunya Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin diperingatkan Allah, bahwa jika orang-orang Ahli Kitab mengajak kaum muslimin memperbincangkan kitab suci mereka, dan memberitahukan kepadanya apa yang patut dibenarkan dan apa yang patut ditolak, sedang kamu sekalian megetahui keadaan mereka itu, maka katakanlah kepada mereka: “ Kami percaya kepada Al-Qur’an yang telah diturunkan kepada kami dan kami juga percaya kepada Taurat dan Injil yang telah diturunkan kepadamu. Yang kami sembah dan yang kamu sembah, sebenarnya adalah sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, karena itu marilah kita bersama-sama tunduk dan patuh kepada-Nya dan marilah kita sama-sama melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghentikan larangan-larangan-Nya.















BAB III
PENUTUP

Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam memiliki kemuliaan yang dipelihara oleh Allah dan memiliki fungsi yang begitu besar dalam mengatur tatacara hidup manusia dimana termasuk di dalamnya mengenai metode pengajaran.
Di dalam Al-Qur’an banyak terkandung ayat-ayat yang menjelaskan ataupun menerangkan tentang konsep Metode pengajaran kepada umat manusia diantaranya yang terdapat pada surat Al-Maidah ayat 67, surat An-Nahl ayat 125, surat Al-A’raaf 176-177, serta surat Ibrahim ayat 24-25.
Metode Pengajaran sangat kita perlukan untuk dapat memiliki dan memanajemeni pengetahuan (knowledge management), menjadi manusia yang unggul.
Segala panduan terhadap aturan hidup dan kehidupan antara manusia dengan Tuhan, alam, masyarakat serta dirinya sendiri tersurat di dalam Al-Qur’an. Siapa saja yang mendekati sumber hidayah ini, Insya Allah akan tersentuh dengan petunjuk-Nya dan siapa yang tidak mendekatinya akan jauh dari hidayahnya.

 Surat Al-Maidah ayat 67 :
Dalam ayat di atas menjelaskan bahwa kita selaku umat nabi Muhammad S.A.W harus meniru dan mensuri tauladani akhlak nabi Muhammad s.a.w, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi keluarga dan orang tua hendaklah mendidik anaknya dengan cara meniru akhlak rosululloh sehingga terciptalah norma-norma islam dan kepribadian dalam diri anak tersebut. Dalam ayat ini menggunakan metode suri tauladan dalam ruang lingkup pendidikan.

Surat Al-A’raf ayat 176-177
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa bagi orang-orang yang mengamalkan ayat-ayat Allah akan di tinggikan derajatnya, dan apabila bagi orang-orang yang tidak mengamalkan ayat-ayat Allah karena cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa narfsunya. maka Allah tidak akan memberikan hidayah baginya.Orang yang seperti itu diumpamakan seperti seekor anjing apabila dihalau ia mengululurkan lidahnya dan apablia dibiarkan ia mengulurkan lidahnya pula. Begitu hinanya orang yang tidak mengamalkan ayat-ayat Allah sehingga Allah akan memberikan peringatan kepada orang yang demikian itu. Dalam ayat ini menggunakan metode cerita dalam ruang lingkup pendidikan.

Surat Ibrahim ayat 24-25
Ayat tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita untuk merenungi dan mentafakuri ciptaan Allah agar dapat diambil hikmah dan pelajarannya. Seperti ayat-ayat Allah yang memiliki kandungan-kandungan makna yang tersirat. Dan metode pengajaran dalam ayat ini adalah kontemplasi.

Surat An-Nahl ayat 125
Dalam ayat di atas terdapat beberapa metode pengajaran, yaitu :
a.   Metode hikmah (pelajaran).
b.   Metode nasihat yang baik
c.   Metode bantahan yang baik dan perkataan yang lemah lembut
Daftar Pustaka

Quraish Shihab,M. 2006. Tafsir Al-Misbah. Lentera Hati: Jakarta
http://stitattaqwa.blogspot.com/2011/08/metode-pendidikan-dalam-kajian-tafsir.html diakses tgl 1-3-2015 pukul 8:26
https://alfanarku.wordpress.com/2012/06/12/benarkah-al-maidah67-diturunkan-sebagai-dalil-penunjukkan-ali-radhiyallahu-anhu/ diakses tgl 28-02-2015 pukul 23:37
http://roeslihamzah.blogspot.com/2012/07/metode-pengajaran-dalam-al-quran.html diakses tgl 1-3-2015 pukul 15:00
http://zhachiicweety.blogspot.com/2012/11/makalah-tafsir-surah-al-maidah-ayat-67.html diakses tagl 28-02-2015 pukul 17:25
http://czifa24.blogspot.com/2012/12/tafsir-tarbawy-metode-pendidikan.html diakses tgl 28-02-2015 pukul 17:36
http://tokwae.blogspot.com/2013/01/asbabun-nuzul-ayat-67-surah-al-maidah.html diakses tgl 1-3-2015 pukul 9:04
http://grabalong.blogspot.co.id/2015/03/ayat-ayat-tentang-metode-pendidikan.html

Jumat, 02 Desember 2016

Pendidik dan peserta didik dlm Al qur'an ( kel 7 )

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan kasih sayang-Nya untuk kita semua. Alhamdulillah, berkat karunia-Nya makalah yang berjudul “Bahan Pengajaran dalam Al-Qur’an” telah selesai dengan tepat waktu untuk memenuhi tugas mata kuliah Qiro’atul Kutub Tafsir Tarbawi.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa salam, sang revolusioner dengan misi beliau untuk menyempurnakan akhlak manusia yang telah membawa kita dari zaman jahiliah menuju zaman yang terang benderang.
Sesuai dengan judulnya, makalah ini berisi tentang pendidik dan peserta didik dalam Al-Qur’an disertai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sangat relevan dan penafsirannya dari berbagai sumber yang terpercaya, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.

Wonosobo, 12 November 2016











PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang terus berjalan bahkan sejak manusia baru saja lahir ke dunia ini. Tidak hanya di lembaga formal pendidikan tersebut berlangsung. Dimana pun dan kapan pun pendidikan dapat diperoleh.
Dalam keberlangsungannya, ada dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam dunia  pendidikan, yakni pendidik dan peserta didik. Keduanya dapat menjadi objek dan sekaligus menjadi subjek pendidikan tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Nah, untuk lebih jelasnya akan kami paparkan dalam makalah ini.

Rumusan Masalah
Bagaimana tafsir surah Al-Kahfi ayat ke 80-82 ?
Bagaimana tafsir surah Al-Baqarah ayat ke 286 ?
Bagaimana tafsir surah Ali Imran ayat ke 159 ?
Bagaimana tafsir surah Al-Hujurat ayat 11 ?

Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah dengan judul “Pendidik dan Peserta Didik dalam Al-Qur’an” agar selain kita dapat mengerti dan memahami pendidik dan peserta didik seperti apa yang tercantum dalam Al-Qur’an, juga diharapkan agar kita dapat menjadi pribadi yang baik, entah itu ketika posisi kita sebagai pendidik maupun sebagai peserta didik yang selaras dengan firman Allah yang ada dalam Al-Qur’an.








PEMBAHASAN

Pengertian Pendidik dan Peserta Didik
Pendidik, menurut Noeng Muhadjir adalah seseorang yang mempribadi (personifikasi pendidik), yaitu mempribadinya keseluruhan yang diajarkan, bukan hanya isinya, tapi juga nilainya. Personifikasi pendidik ini merupakan hal yang penting maknanya bagi kepercayaan peserta didik. Pendidik selain melakukan transfer of knowledge, juga seorang motivator dan fasilitator bagi proses belajar peserta didiknya.
Selain pendidik, komponen lainnya yang melakukan proses pendidikan lainnya adalah peserta didik. Peserta didik adalah makhluk Allah yang terdidi dari aspek jasmani dan ruhani yang belum mencapai taraf kematangan, baik fisik, mental, intelektual, maupun psikologisnya. Oleh karena itu, ia senantiasa memerlukan bantuan, bimbingan, dan arahan pendidik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal dan membimbingnya menuju kedewasaan.

Surah Al-Kahfi ayat 80-82
((((((( ((((((((((( ((((((( ((((((((( (((((((((((( ((((((((((( ((( ((((((((((((( (((((((((( ((((((((( ((((   (((((((((((( ((( ((((((((((((( ((((((((( ((((((( ((((((( (((((((( (((((((((( ((((((( ((((   ((((((( ((((((((((( ((((((( ((((((((((((( ((((((((((( ((( ((((((((((((( ((((((( ((((((((( ((((( ((((((( ((((((( (((((((((( (((((((( ((((((((( (((((( ((( (((((((((( ((((((((((( ((((((((((((((( (((((((((( (((((((( (((( ((((((( ( ((((( ((((((((((( (((( ((((((( ( ((((((( ((((((((( ((( (((( ((((((( (((((((( ((((((( ((((  
Artinya : “Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya". 
Penjelasan Ayat
( وَاَمَّا الْغُلَمُ فَكَا نَ اَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِيْنَا اَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا )
Adapun anak muda, adalaorang kafir, sedang kedua orang tuanya adalah orang-orang yang beriman. Maka kami takut jika kecintaan kepadanya akan mendorong mereka untuk mengikuti didalam kekafirannya.
Qatadah berkata : kedua orang tuanya merasa gembira ketika ia dilahirkan, dan merasa sedih ketika dia dibunuh. Sekiranya dia masih hidup, niscaya hidupnya itu akan membawa kepada kebinasaan kedua orang tuanya.
فَاَرَدْنَا اَنْيُبْدِلَهُمَا رَبُهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَوةً وَّ اَقْرَبَ رُحْمًا
Orang alim ini berkata : kami menghendaki agar Allah memberi rezeki kepada kedua orang tua ini seorang anak yang lebih baik agama dan kesalehannya dibanding anak yang dibunuh ini, dan lebih dekat kasih sayangnya kepada mereka.
وَاَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَمَيْنِ يَتِمَيْنِ فِى الْمَدِيْنَةِ وَ كَانَ تَحْتَهُ كَنْزُلَهُمَا وَ كَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا فَاَرَادَ رَبُّكَ اَنْيَبْلُغَا اَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزُهُمَا رَحْمَةً مِّنْ رَبِّكَ
Sesungguhnya, faktor yang mendorong aku untuk menegakkan dinding ialah, karena di bawahnya terdapat harta benda simpanan milik dua orang anak yatim berada di kota, sedang bapak mereka adalah seorang yang saleh. Allah berkehendak agar harta simpanan itu tetap berada dalam kekuasaan kedua anak yatim itu, untuk memelihara hak mereka dan karena kesalehan bapak mereka.
(وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ اَمْرِيْ)
Aku melakukan apa yang telah kamu lihat sendiri itu tidak berdasarkan pikiran dan kehendakku sendiri, tetapi karena Allah memerintahkannya kepadaku. Sebab, pengurangan harta manusia dan penumpahan darah mereka hanya boleh dilakukan berdasarkan wahyu dan nas yang qat’i.
ذٰلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
Hal-hal yang menyebabkan aku melakukan perbuatan-perbuatan yang kamu ingkari, yang aku ceritakan kepadamu ini adalah penjelasan tentang akibat perbuatan yang karenanya kamu merasa sempit dan tidak bisa bersabar sebelum aku memberitahukannya lebih dahulu. 
Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul ayat 80-81adalah seseorang bernama Ghulam yang dibunuh oleh Nabi Khidir (berdasarkan syari’at Nabi Khidir, hanya berlaku pada syari’at Nabi Khidir dan tidak berlaku bagi syari’at yang lain) karena kekhawatirannya bahwa si anak (saat dewasa) akan membawa kesesatan dan kekafiran bagi kedua orang tuanya, sebab kecintaan orang tua terhadap anak tersebut.

Relevansi dengan pendidikan
Peserta didik mencari ilmu pada orang yang lebih pandai darinya
Diperlukan adab kesopanan dalam proses belajar mengajar
Mencari dan menambah ilmu itu tanpa batas meskipun seseorang telah dalam kedudukan tinggi.

Surah Al Baqarah ayat 286
(( ((((((((( (((( ((((((( (((( ((((((((( ( ((((( ((( (((((((( ((((((((((( ((( (((((((((((( ( ((((((( (( ((((((((((((( ((( ((((((((( (((( ((((((((((( ( ((((((( (((( (((((((( (((((((((( ((((((( ((((( ((((((((((( ((((( ((((((((( ((( ((((((((( ( ((((((( (((( (((((((((((( ((( (( ((((((( ((((( ((((( ( (((((((( ((((( (((((((((( ((((( (((((((((((((( ( ((((( (((((((((( (((((((((((( ((((( (((((((((( (((((((((((((( (((((  
Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
Asbabun Nuzul
Imam Muslim mengeluarkan di dalam kitab Shahih-nya dan juga dikeluarkan oleh periwayat lainnya, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Tatkala turun ayat [artinya], ‘Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu” (Al-Baqarah:284) beratlah hal itu bagi para shahabat. Lalu mereka mendatangi Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam, dengan merangkak atau bergeser dengan bertumpu pada pantat seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami sudah dibebankan amalan-amalan yang mampu kami lakukan; shalat, puasa, jihad dan sedekah (zakat) dan sekarang telah diturunkan padamu ayat ini padahal kami tidak sanggup melakukannya.’
Lalu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘Apakah kalian ingin mengatakan sebagaimana yang dikatakan Ahli Kitab sebelum kamu; kami dengar namun kami durhaka? Tetapi katakanlah ‘kami dengar dan patuh, Wahai Rabb, kami mohon ampunan-Mu dan kepada-Mu tempat kembali.’ Tatkala mereka mengukuhkan hal itu dan lisan mereka telah kelu, turunlah setelah itu ayat ‘Aamanar Rasuul…sampai al-Mashiir. (al-Baqarah:285)’ Dan tatkala mereka melakukan hal itu, Allah pun menghapus (hukum)-nya dengan menurunkan firman-Nya, “Laa Yukallifullah…hingga selesai.(al-Baqarah:286)” [HR.Muslim, no.125 dan Ahmad, II/412]

Penafsiran
(( ((((((((( (((( ((((((( (((( (((((((((
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.”
Keimanan dibuktikan dengan kesiapan menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah, jangan merasa enggan sedikitpun untuk menaatinya, karena tidak ada yang memberatkan. Apa yang diperintahkan Allah sudah disesuaikan dengan kemampuan manusia untuk menjalankannya. Aapa yang dilarang Allah sudah sesuai dengan kemampuan manusia untuk menjauhinya. Jika ada suatu perintah dirasakan berat, bukan bobot perintahnya yang berat, tapi hati dan keadaan yang mempengaruhinya. Berat atau ringannya menjalankan tugas, sangat dipengaruhi oleh persepsi individu dalam mengemban tugas tersebut. Semua itu mengisyaratkan bahwa setiap aturan syari’ah sudah sesuai dengan kemampuan manusia. Bila ada sutu perintah yang berat dalam situasi tertentu, maka Allah memberikan solusi mengatasinya.
((((( ((( (((((((( ((((((((((( ((( (((((((((((( (
“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”
Setiap individu memperoleh hasil dari apa yang diusahakannya, Tangan menjinjing bahulah yang memikulnya. Orang yang beramal baik, akan mendapatkan manfaat dari kebaikannya. Orang yang beramal buruk akan bertanggung jawab atas keburukannya. Berbuatlah baik, kalau ingin mendapatkan kebaikan. Jangan berbuat buruk, bila tidak ingin memikul akibat keburukan. Allah SWT akan memperhitungkan apa yang diperbuat manusia, apakah kebaikan ataukah keburukan. Ditandaskan pula dalam surah Az-Zalzalah ayat 7-8 seperti berikut:
((((( (((((((( ((((((((( (((((( ((((((( ((((((( (((   ((((( (((((((( ((((((((( (((((( ((((( ((((((( (((  
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”

( ((((((( (( ((((((((((((( ((( ((((((((( (((( ((((((((((( ( ((((((( (((( (((((((( (((((((((( ((((((( ((((( ((((((((((( ((((( ((((((((( ((( ((((((((( ( ((((((( (((( (((((((((((( ((( (( ((((((( ((((( ((((( ( (((((((( ((((( (((((((((( ((((( (((((((((((((( ( ((((( (((((((((( (((((((((((( ((((( (((((((((( (((((((((((((( (((((  
”(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
Orang yang beriman menghadapi perintah apapun selalu siap menjalankannya. Demikian pula bila menerima cegahan, maka mereka siap meninggalkannya. Bila ternyata larangan dan perintah tersebut ada yang dirasakan berat, maka tetap tidak menolaknya melainkan bermohon kepada Allah untuk mendapatkan keringanan. Inti do’a ini adalah ungkapan keyakinan bahwa segala yang diperintahkan Allah itu sudah disesuaikan dengan kemampuan manusia. Jika dirasakan ada yang berat, itu merupakan kelemahan diri. Oleh karena itu mohon diberi keringanan, bila terlanjur berbuat kesalahan, agar diganti dengan rahmat dan maghfirah. Kemudian karena dalam melaksanakan syari’ah itu banyak tantangan dari kalangan kafirin, maka bermohon pada-Nya agar mampu mengalahkan kafirin.

Relevansi dengan pendidikan
Pendidik hendaknya selalu siap untuk berperan menjadi seorang pendidik, baik menjalankan perintah untuk mentransfer ilmu, mendidik, dan menjadi teladan yang baik bagi peserta didiknya. Begitu pula sebaliknya, peserta didik hendaknya selalu siap menjalankan perintah dari pendidik dan tidak melakukan apa yang dilarangnya.
Pendidik senantiasa memudahkan peserta didiknya dalam proses belajar mengajar, memaafkan kesalahan peserta didik sembari menasehati dan mengingatkan dalam kebaikan.

Surah Ali Imran ayat 159
((((((( (((((((( ((((( (((( ((((( (((((( ( (((((( ((((( ((((( ((((((( (((((((((( (((((((((( (((( (((((((( ( (((((((( (((((((( (((((((((((((( (((((( ((((((((((((( ((( (((((((( ( ((((((( (((((((( (((((((((( ((((( (((( ( (((( (((( (((((( (((((((((((((((((( (((((  
Artinya :  Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Asbabun Nuzul
Sebab-sebab turunya ayat ini kepada Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa salam adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ra menjelaskan bahwasanya setelah terjadinya perang Uhud, Rasulullah mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar  ra dan Umar bin Khaththab ra untuk meminta pendapat meraka tentang para tawanan perang, Abu Bakar ra berpendapat, meraka sebaiknya dikembalikan kepada keluargannya dan keluargannya membayar tebusan. Namun, Umar ra berpendapat mereka sebaiknya dibunuh. Yang diperintah membunuh adalah keluarganya. Rasulullah mesulitan dalam memutuskan. Kemudian turunlah ayat ini sebagai dukungan atas Abu Bakar. Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya yakni surah Ali Imran ayat 158.

Penafsiran
Makna ayat adalah ketika Rasulullah sallallahu  ‘alaihi wa salam bersikap lemah-lembut dengan orang yang berpaling pada perang uhud dan tidak bersikap kasar terhadap mereka maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau dapat melakukan itu dengan sebab taufiq-Nya kepada beliau.
Prof Hamka Menjelaskan tentang QS. Ali Imran ini, dalam ayat ini bertemulah pujian yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada ummatNya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa orang yang meninggalkan tugasnya, karena laba akan harta itu, namun Rasulullah tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin.
Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah rahmatNya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin. Meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah terhadap pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari Allah untuk mereka.
Andaikata Nabi Muhammad saw sallallahu  ‘alaihi wa salam, berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan diri dari beliau. Disamping itu Nabi Muhammad selalu bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum muslimin patuh melaksanakan putusan- putusan musyawarah itu karena keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka tetap berjuang dan berjihad dijalan Allah dengan tekad ayng bulat tanpa menghiraukan bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum muslimin selain Allah.
M. Quraish Shihab di dalam Tafsirnya al-Misbah menyatakan bahwa ayat ini diberikan Allah kepada Nabi Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya, sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi manusia untuk marah, namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukan kelemah lembutan Nabi sallallahu  ‘alaihi wa salam. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan perang, beliau menerima usukan mayoritas mereka, walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki dam mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus, dan lain lain.

Relevansi dengan pendidikan
Pendidik hendaknya dapat berlemah lembut terhadap peserta didiknya khususnya dalam proses pembelajaran, menyenangkan dan tidak membosankan sehingga peserta didik mampu menerima ilmu dengan baik
Pendidik juga harus melakukan diskusi dengan peserta didiknya, apa yang menjadi kendala mereka dalam pelajaran, apa yang menjadi keinginan mereka dalam proses pembelajaran misalnya dalam penggunaan metode atau pemberian tugas dan lain sebagainya. Jangan sampai pendidik menjadi orang yang otoriter, tidak memrima masukan dari peserta didiknya, menganggap ia paling tahu segalanya
Ketika kita menemukan kesalahan dari peserta didik, dalam menyerap pelajaran, sulit diatur dan sebagainya. Jangan lantas kita membeci mereka, memperlakukan mereka dengan kasar dan keras, menghukum mereka secara berlebihan atau bahkan mengatakan mereka dengan perkataan yang kotor. Karena hal itu tidak akan menyelesaikan masalah akan tetapi justru akan meimbulkan banyak masalah bagi pendidik itu sendiri lebih-lebih bagi peserta didik yang masih dalam tahap pembelajaran. Maafkanlah semua kesalahan mereka seraya menesehati mereka dengan lemah lembut, bukan berarti lemah lembut itu tidak tegas, tetapi lemah lembut dalam menasehatinya denagan tutur kata yang baik dan tidak menyudutkan mereka, karena mereka adalah tanggung jawab pendidik.

Surah Al Hujurat ayat 11
((((((((((( ((((((((( (((((((((( (( (((((((( (((((( (((( (((((( (((((( ((( (((((((((( ((((((( ((((((((( (((( (((((((( (((( ((((((((( (((((( ((( (((((( ((((((( ((((((((( ( (((( (((((((((((( ((((((((((( (((( (((((((((((( ((((((((((((( ( (((((( (((((((( ((((((((((( (((((( (((((((((( ( ((((( (((( (((((( (((((((((((((( (((( ((((((((((((( ((((  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka Itulah orang-orang yang dzalim.
Asbabun Nuzul
Diriwayatkan bahwa ayat ke 11 dari surah al Hujurat diturunkan berkenaan dengan tingkah laku kabilah Bani Tamim yang pernah berkunjunng kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam, lalu mereka memperolok-olok beberapa sahabat yang fakir dan miskin seperti ‘Ammar, Suhaib, Bilal, Khabbab, Salman Al-Farisi dan lainnya karena pakaian mereka sangat sederhana.
Ada pula yang mengemukakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kisah Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab yang pernah datang menghadap Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam, melaporkan bahwa beberapa perempuan di Madinah pernah menegurnya dengan kata-kata yang menyakitkan hati seperti, “Hai perempuan Yahudi, keturunan Yahudi, dan sebagainya”. Sehingga Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadanya, “Mengapa tidak kau jawab saja, ayahku Nabi Harun, pamanku Nabi Musa dan suamiku Muhammad.”
Selain itu, ada juga yang mengaitkan dengan situasi di Madinah. Ketika Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam tiba di sana, orang-orang Anshar banyak yang mempunyai nama lebih dari satu. Jika mereka dipanggil oleh kawan mereka, yang kadang-kadang dipanggil dengan panggilan yang tidak disukainya dan setelah hal tersebut dilaporkan kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam maka turunlah ayat ini.

Munasabah
Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah telah menjelaskan bagaimana mendamaikan dua kelompok muslimin yang bertikai dan sesama orang Islam adalah saudara. Lalu dijelaskan pada ayat ini bagaimana sebaiknya pergaulan orang-orang yang beriman. Di antaranya, mereka dilarang memperolok-olok saudara mereka dengan memanggil mereka dengan gelar yang buruk atau berbagai tindakan yang menjurus ke arah permusuhan dan kedzaliman.

Makna kata
وَ لاَ تَلْمِزُوْا
Kata talmizuu berarti memberi isyarat disertai dengan berbisik-bisik dengan maksud mencela. Ejekan ini biasanya langsung ditujukan kepada seseorang yang diejek, baik dengan isyarat mata, bibir, kepala, tangan atau yang lainnya.
Dalam ayat ini Allah melarang kita untuk melakukan lamz terhadap diri sendiri (talmizu anfusakum), padahal yang dimaksud adalah orang lain. Pengungkapan anfusakum dimaksudkan bahwa antara sesama manusia adalah saudara dan satu kesatuan, sehingga apa yang diderita oleh saudara kita artinya diderita juga oleh diri kita sendiri. Maka siapa yang mencela atau mengejekorang lain sesungguhnya dia telah mengejek dirinya sendiri. Kalimat tersebut juga dapat diartikan agar tidak melakukan suatu tindakan yang membuat orang lain mengejek dirinya.
وَ لاَ تَنَابَزُوْا
Kata tanaabazuu berarti memberikan julukan dengan maksud mencela. Tanaabazuu melibatkan dua pihak yang saling memberikan julukan, atau gelar yang buruk. Hampir sama maknanya dengan lamz. Hanya saja dalam kata taanabazuu ada makna keterusterangan dan timbal balik. Seseorang yang melakukan lamz belum tentu di hadapan orang yang dicelanya.

Penafsiran
Pada ayat tersebut, Allah mengingatkan orang-orang yang beriman supaya jangan ada suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang mengolok-olokkan. Begitu pula di kalangan perempuan, jangan ada segolongan perempuan yang mengolok-olok perempuan yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu di sisi Allah jauh lebih baik dari perempuan-perempuan yang mengolok-olok.
Allah melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum mukninin semuanya harus dipandang sebagai satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan. Allah melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk seperti hai fasik, hai kafir dan sejenisnya.
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dikatakan bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam bersabda “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupamu dan harta kekayaanmu, akan tetapi Dia memandang kepada hati dan perbuatanmu”.
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa seorang hamba tidak boleh memastikan kebaikan dan keburukan seseorang semata-mata kerena melihat kepada perbuatannya saja, sebab ada kemungkinan seseorang tampak mengerjakan kebajikan padahal Allah melihat di dalam hatinya ada sifat yang tercela. Begitupun sebaliknya, mungkin ada orang yang  kelihatannya melakukan suatu  keburukan tapi Allah melihat di dalam hatinya ada rasa penyesalan yang besar yang mendorongnya bertaubat dari dosanya. Jadi, perbuatan yang tampak di luar itu hanya merupakan tanda-tanda saja yang (sering) menimbulkan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai pada tingkatan meyakinkan.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini menerangkan bahwa ada seorang laki-laki yang pernah pada masa mudanya mengerjakan perbuatan buruk, lalu ia bertaubat dari dosanya, maka Allah melarang siapa saja yang menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa yang lalu karena hal itu dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik. Itulah sebabnya Allah melarang memanggil dengan panggilan dan gelar yang buruk.
Adapun panggilan yang mengandung penghormatan tidak dilarang, seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan As-Siddiq, kepada ‘Umar dengan Al-Faruq, kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah, dan sebagainya.
Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapakan setelah orangnya beriman karena gelar-gelar itu mengingatkan pada kedurhakaan yang telah lewat dan tidak pantas dilontarkan.

Relevansi dalam pendidikan
Antara pendidik dan peserta didik hendaknya tidak saling menjelek-jelekkan, saling berhusnudzan dan senantiasa mengingatkan dalam hal kebaikan.
Pendidik tidak boleh memanggil peserta didik dengan panggilan yang buruk, begitu pula sebaliknya.
Pendidik memperlakukan peserta didiknya dengan baik, sesuai batas kewajaran, tidak merendahkan mereka karena pada hakikatnya semua manusia adalah sama di hadapan Allah.











PENUTUP
Kesimpulan :
Pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab tidak hanya mentranferkan ilmu pengethuan, namun juga bertugas mendidik, mengarahkan, memotivasi dan sebagai fasilitator bagi peserta didiknya.
Peserta didik ialah mereka yang memiliki potensi, bakat dan minat namun masih memerlukan bimbingan, dan arahan dari pendidik.
Dalam surah al-Kahfi ayat 80-82, Allah menjelaskan bahwa menuntut ilmu itu tanpa batas meskipun seseorang itu sudah dalam tingkatan tinggi.
Dalam surah al-Baqarah ayat 286, Allah menjelaskan kepada kita untuk senantiasa memohon dan berdo’a kepada-Nya, agar kita selalu siap menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam surah Ali Imran ayat 159, Allah memerintahkan kita untuk senantiasa berlemah lembut kepada sesama, bermusyawarah dalam segala urusan serta memaafkan kesalahan orang lain.
Dalam surah al-Hujurat ayat 11, Allah melarang kita untuk mengolok-olok orang lain dan menjelek-jelekkan mereka baik dalam perkataan, isyarat, maupun dalam hal perbuatan.











DAFTAR PUSTAKA
Hasan Langgulung.1988. “Pendidikan Islam Menghadapi Abad Ke-21”. Jakarta : Pustaka Al-Husna
Ibrahim bin Sulaiman al-Huwaimil. ”Silsilah Manaahij Dawraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah-Fi`ah an-Naasyi`ah”.
Tafsir al-Maraghi oleh Ahmad Musthafa Al-Maraghi jilid 3 oleh penerbit toha putra, semarang 1993
Terjemah tafsir al maraghi juz 16, 17, 18
Tafsir Al-Qurthubi; penerjemahm Dusi Rosyadi, Nashirul Haq, Fathurrahman, editor, Ahmad Zubairin. 2008. Jakarta: Pustaka Azzam
Hamka. 1980.”Tafsir Al-Azhar”. Jakarta: Pustaka Panjimas.