Senin, 09 Januari 2017

Instrumen (kel. 10)

INSTRUMEN PENGAJARAN DALAM AL-QUR’AN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Qiroatul Kutub Tafsir Tarbawi
yang diampu oleh Darul Muntaha, S.Sos.I, M.Pd.I










Disusun Oleh:
Linda Wulansari
Isma Alif Romla
Siti Atikah


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah menciptakan kita dan senantiasa meridhoi amal ibadah kita. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang selalu kita nantikan pertolongannya di Hari Akhir nanti, Amiin.
Makalah berjudul Instrumen Pengajaran dalam Al-Quran ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diampu oleh Bapak Darul Muntaha, S.Sos.I, M.Pd.I. Ucapan terima kasih kepada beliau yang telah membimbing penyusun dalam menyusun makalah ini. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari materi maupun penyusunannya. Oleh karena itu, penyusun memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan yang terdapat dalam makalah ini. Penyusun akan sangat berterima kasih apabila pembaca berkenan untuk memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kemajuan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan pembaca, Amiin.

Wonosobo, 08 Desember 2016

Penyusun












BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Instrumen yaitu sesuatu  yang dapat digunakan untuk mempermudah seseorang untuk melakukan tugas atau mencapai tujuan secara efektif  atau efisien. Instrumen disebut juga sebagai alat
Dalam bidang pelajaran instrumen diginakan untuk mengukur prestasi belajar siswa, faktor-faktor yang diduga mengenai sehubungan atau berpengaruh terhadap hasil belajar, perkembangan hasil belajar siswa, keberhasilan proses mengajar guru dan keberhasilan pencapaian suatu program tertentu. Dalam al-Qur’an dalam beberapa surat disebutkan tentang instrumen pengajaran diantaranya di dalam surat Al-An’am, Surat al-Ra’du dan surat Al-Ghasiyyah yang akan kami bahas dalam makalah kami berikut ini.
Rumusan Masalah
Bagaimana penjelasan surat Al-An’am ayat 74-83?
Bagaimana penjelasan surat Ar-Ra’du ayat 2?
Bagaimana penjelasan surat Al-Ghasiyyah Yt 18-20?















BAB 11
PEMBAHASAN

Q.S Al-An’am ayat 74-83
1.      Ayat 74
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ
Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata."
Disifatinya kesesatan dengan nyata untuk menjelaskan apa yang telah terjadi pada diri mereka, sebagaimana diisyaratkan oleh bahasa, seperti firman Allah ta’ala kepada Rasulullah saw, “ Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk” (Ad Dhuha, 93:7).
Dan seperti perkataan anda kepada orang yang anda lihat menyimpang dari jalan yang ditempuhnya, “Sesungguhnya jalan itu dari sini, tetapi anda menyimpang darinya.”
2.      Ayat 75
وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.”
Semua itu Kami perlihatkan adanya, agar dia mengetahui sunnah Kami terhadap makhluk, kebijaksanaan Kami di dalam mengatur jerajaan, dan ayat-ayat yang menunjukan Rububbiyah Kami. Supaya dengan itu, dia dapat menegakan hujjah terhadap orang-orang musyrik yang sesat, dan supaya dia sendiri termasuk orang-orang yang benar-benar yakin sampai ketingkat ‘ainul-yaqin.
Kemudian Allah Ta’ala merinci kerajaan langit dan bumi yang diperlihatkan kepadanya secara global. Dia berfirman :

3.      Ayat 76
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".
“Dengan segala sesuatu Dia mempunyai tanda menunjukan bahwa Dia Maha Esa”
Juga yang batin dalam segala sesuatu dengan kebijaksanaan dan kehalusannya, “ Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dia-lah Yang Maha halus lagi Maha Mengetahui”. (Al An’am, 6:103).
Di dalam hadits, ketika kejelasan makna ikhsan diungkapkan, “ Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, kalaupun kamu tidak dapat melihatNya, maka sesungguhnya dia melihatmu.”
Ringkasnya, ayat ini mengisyaratkan kebodohan kaumnya didalam menyembah sesuatu yang tidak terlihat oleh mereka dan tidak tahu sedikit pun tentang urusan ibadah mereka kepadanya. Makna ini lebih dekat dengan perkataannya kepada bapaknya, “ Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?” (Maryam, 19:42).

4.      Ayat 77
فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ
“Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat."
Disini terdapat sindiran yang lebih pantas dikatakan terdapat keterusterangan kesesatan kaumnya, dan isyarat kepada bergantungannya hidayah Ad Din pada wahyu Illahi. Disini, sindiran meningkat karena hujjah lawan bicara telah terpojok dengan pembuktian pertama, sehingga keyakinan mereka termodali. Ibrahim baru menyindir kesesatan setelah dia yakin, bahwa mereka mau mendengarkan maksud terakhir dari pembicaraannya. Dalam langkah ketiga, dia beralih dari sindiran kepada terus-terang, menyatakan kebesarannya dari mereka, dan bahwa mereka benar-benar berada dalam kemusrikan yang nyata. Hal ini setelah kebenaran benar-benar nampak.

5.      Ayat 78
فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ
“Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
Ringkasnya, dia memutar balik dan mengulur-ulur pembicaraan dengan penuh kelembutan hingga sampai kepada apa yang dia kehendaki dengan cara yang terbaik dan halus, sambil membebaskan diri dari sesembahan-sesembahan yang mereka jadikan Tuhan dan tuhan-tuhan selain Allah itu.
Setelah membebaskan diri dari kemusrikan mereka itu, dia menutup dengan menjelaskan akidahnya akidah yang murni, dia berkata,
6.      Ayat 79
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Ringkasnya, Ibrahim berlepas diri dari kemusrikan mereka atau sekutu-sekutu mereka, kemudian dari diri mereka sendiri. Senada dengan ayat ini ialah firman Allah dalam Q.S. Al Mumtahah ayat 4 yang berbunyi, “Sesungguhnya telah ada tauladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian’.
Secara lahir, apa yang diceritakan Allah tentang Ibrahim as, adalah bahwa kaumnya menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan, bukan sebagai pencipta yang menjadikan bintang-bintang sekaligus sebagai pencipta tuhan-tuhan. Allah ialah sembahan. Setiap yang menyembah sesuatu maka dia telah menjadikannya Tuhan Ar –Rabb ialah yang menguasai, memelihara, mengatur dan bebas berbuat. Makhluk tidak mempunyai Tuhan selain Allah yang menciptakan mereka. Dia lah yang menguasai segala sesuatu disetiap zaman dan keadaan, sedangkan kerajaan selain Allah bersifat kurang dan sementara. Dial ah yang berhak disembah. Ibadah ialah menghadapkan diri dengan berdoa dan mengagungkan, baik bersifat perkataan maupun perbuatan kepada Tuhan yang mempunyai kekuasaan tertinggi, yang menciptakan, mengadakan dan bebas untuk bertindak terhadap makhluk.
7. Ayat 80
((((((((((( ((((((((( ( ((((( (((((((((((((((( ((( (((( (((((( ((((((( ( (((( ((((((( ((( ((((((((((( (((((( (((( ((( (((((((( (((((( ((((((( ( (((((( (((((( (((( (((((( ((((((( ( (((((( ((((((((((((( ((((
“80. dan Dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: ‘Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, Padahal Sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku.’ dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka Apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) ?’
Maksudnya, di antara bukti kesalahan pendapat kalian itu adalah ilah-ilah yang kalian sembah itu tidak dapat memberikan pengaruh sama sekali dan aku tidak takut dan tidak pula mempedulikannya. Jika ia dapat melakukan tipu daya, biarlah ia memperdayaku. Jangan kalian tunda-tunda lagi, segerakanlah hal itu padaku.
8. Ayat 81
(((((((( ((((((( (((( (((((((((((( (((( (((((((((( (((((((( ((((((((((( (((((( ((( (((( ((((((((( ((((( (((((((((( (((((((((( ( (((((( ((((((((((((((( (((((( (((((((((( ( ((( ((((((( ((((((((((( ((((
81. bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), Padahal kamu tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukanNya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui?
Maksudnya, kelompok manakah yang lebih benar: apakah kelompok yang beribadah kepada Allah yang di Tangan-Nya terdapat mudharat dan manfaat, ataukah yang beribadah kepada dzat yang tidak dapat memberikan mudlarat dan manfaat dan tanpa dalil ? Manakah di antara dua kelompok tersebut yang lebih aman dari adzab Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya pada hari kiamat kelak ?
9.Ayat 82
((((((((( (((((((((( (((((( (((((((((((( ((((((((((( (((((((( (((((((((((( (((((( (((((((( ((((( (((((((((((
82. orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Maksudnya, mereka itulah orang-orang yang mengikhlaskan ibadahnya hanya kepada Allah semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan mereka juga tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mereka itulah orang-orang yang pada hari kiamat kelak akan mendapat keamanan dan mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.

10.Ayat 83
(((((((( (((((((((( (((((((((((((( (((((((((((( (((((( ((((((((( ( (((((((( ((((((((( ((( (((((((( ( (((( (((((( ((((((( ((((((( ((((
dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.”
Al-Bukhari berkata dari Abdullah, ia mengatakan: “Ketika turun ayat: alladziina aamanuu wa lam yalbisuu iimaanaHum bidhulmin (“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedhaliman [syirik],”) maka para shahabat berkata: ‘Siapakah di antara kita yang tidak berbuat dhalim pada dirinya sendiri [berbuat dosa]?’ maka turunlah ayat: innasy-syirka ladhulmun ‘adhiim (“Sesungguhnya syirik itu benar-benar merupakan kedhaliman yang besar.”) (Luqman: 13).”Firman-Nya selanjutnya: wa tilka hujjatunaa aatainaaHaa ibraaHiima ‘alaa qaumiHii (“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.”) maksudnya Kami arahkan hujjahnya untuk menghadapi mereka.Mujahid dan ulama lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan hal itu adalah firman-Nya: wa kaifa akhaafu maa asyraktum Wa laa takhaafuuna anna kum asyraktum billaaHi (“Bagaimana aku takut kepada ilah-ilah yang kamu persekutukan [dengan Allah]? Padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah.”)
wa tilka hujjatunaa aatainaaHaa ibraaHiima ‘alaa qaumiHii narfa’u darajaatim man nasyaa-u (“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat.”)Ayat di atas bisa dibaca dengan menggunakan idhafah dan bisa juga tidak menggunakannya, sebagaimana yang terdapat dalam surat Yusuf, da makna keduanya mempunyai kedekatan.”Inna rabbaka hakiimun ‘aliim (“Sesungguhnya Rabbmu Mahabijaksana lagi Mahamengetahui.”) maksudnya, Dia Mahabijaksana dalam ucapan dan perbuatan-Nya. ‘Aliim (“Mahamengetahui”) maksudnya siapa-siapa yang diberi-Nya petunjuk dan siapa-siapa pula yang disesatkan-Nya.
Q.S Ar-Ra’du ayat 2
ٱللَّهُ ٱلَّذِي رَفَعَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ بِغَيۡرِ عَمَدٖ تَرَوۡنَهَاۖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ وَسَخَّرَ ٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَۖ كُلّٞ يَجۡرِي لِأَجَلٖ مُّسَمّٗىۚ يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَ يُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّكُم بِلِقَآءِ رَبِّكُمۡ تُوقِنُونَ ٢

“ Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini Pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.” (ar-Ra’du: 2)
Allah memberitahukan tentang kesempurnaan dan kebesaran kekuasaan-Nya yang dengan izin dan perintah-Nya meninggikan langit tanpa tiang, bahkan dengan izin, perintah dan kekuasan-Nya mengangkat langit dari bumi sampai jarak yang tidak dapat dicapai dan diketahui bilangan jaraknya. Langit yang terdekat mengelilingi bumi seluruhnya dan semua yang ada di sekitarnya berupa air dan udara di semua arah dan penjuru, tegak di atasnya dari segala sisi secara merata dan dengan jarak yang sama antara langit dan bumi dari semua arah, yakni sejauh perjalanan limaratus tahun, dan tebalnya juga sejauh perjalanan limaratus tahun. Kemudian terdapat langit kedua yang mengelilingi langit pertama [terdekat] dan ada yang ada padanya, dan jarak antara kedua langit itu sejauh perjalan limaratus tahun, dengan ketebalan seperti itu juga.
Demikian juga halnya dengan langit ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh. Sebagaimana firman Allah: AllaaHulladzii khalaqa sab’a samaawaati wa minal ardli mitslaHunna (“Allah yang telah menciptakan tujuh langit, dan dari bumi seperti itu juga.”)(ath-Thalaaq: 12). Firman Allah: bighairi ‘amadin taraunaHaa (“Tanpa tiang sebagaimana yang kamu lihat.”) diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, al-Hasan, Qatadah dan lain-lain, mereka mengatakan: “Langit itu mempunyai tiang-tiang, tetapi tidak dapat dilihat.” Iyas bin Mu’awiyah berkata: “Langitdi atas bumi bagaikan kubah.” Maksudnya tanpa tiang. Pendapat ini diriwayatkan juga oleh Qatadah, dan pendapat inilah yang sesuai dengan susunan kaliamat dalam ayat ini, dan makna yang jelas dari firman Allah Ta’ala: wayumsikus samaa-a taqa’a ‘alal ardli illaa bi-idzniHi (“Dan Allah menahan langit agar tidak jatuh ke atas bumi, kecuali dengan izin-Nya.”)(al-Hajj: 65). Berdasarkan hal tersebut maka firman Allah Ta’ala: taraunaHaa (“Sebagaimana yang kalian lihat”) adalah penegasan kepada tidak adanya tiang. Maksudnya, langit itu ditinggikan tanpa tiang sebagaimana yang kalian lihat. Dan hal ini adalah kekuasaan yang paling sempurna. Firman Allah: tsummastawaa ‘alal ‘arsyi (“Kemudian Allah bersemayam di atas ‘Arsy”) penafsirannya telah dibahas dalam surah al-A’raaf. Dan Dia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ayat ini diperlakukan [ditetapkan] sesuai apa adanya tanpa takyif [menanyakan bagaimananya], tasybih [menyerupakan dengan makhluk], ta’thil [meniadakan sifat-sifat-Nya] dan tamtsil [menyamakan Allah dengan makhluk]. Allah Mahatinggi dari semua itu. Firman Allah: wa sakhkharasy syamsa wal qamara yajrii li ajalim musammaa (“Dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan.”) ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah, matahari dan bulan itu berjalan terus sampai berhenti karena terjadi [hari] kiamat, seperti firman Allah: wasy syamsu tajrii limustaqarrillaHaa (“Dan Matahari itu berjalan pada tempat peredarannya.”)(Yaasiin: 38). Sebagian mengatakan, bahwa maksud ke tempat peredarannya itu, yaitu berada di bawah ‘Arsy di atas permukaan bumi dari sisi lain, karena matahari dan bulan serta bintang-bintang [planet-planet] lainnya bila telah sampai kesana berarti telah sampai ke tempat yang paling jauh dari ‘Arsy, karena yang benar berdasarkan dalil-dalil, ‘Arsy itu merupakan kubah yang berada di atas [menaungi] seluruh alam menurut pengertian ini, dan tidak mengelilingi seperti falak-falak lainnya, karena ‘Arsy mempunyai penyangga, dan pembawa yang mengangkatnya.
Hal seperti ini tidak dapat dibayangkan terdapat pada falak yang berbentuk bulat dan hal ini tampak jelas bagi orang yang mau merenungkan apa yang disampaikan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih, segala puji dan anugerah hanya milik Allah.
Allah Ta’ala hanya menyebutkan matahari dan bulan saja dalam ayat ini karena keduanya merupakan bintang [planet] yang paling nampak jelas dari tujuh planet yang berjalan, yang lebih mulia dan lebih besar daripada bintang [planet] yang tetap diam. Jika Allah mampu menundukkan matahari dan bulan yang berjalan ini, maka Dia tentu lebih kuasa menundukkan dan mengatur bintang-bintang atau planet-planet lainnya, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah yang artinya: “Janganlah kamu bersujud menyembah kepada matahari dan janga pula kepada bulan, tetapi sujudlah kepada Allah yang telah menciptakannya, bila kamu memang beribadah kepada-Nya.” (Fushshilat: 37). Dan Allah pun telah menegaskan hal itu dengan firman-Nya yang artinya: “Matahari, bulan dan bintang-bintang itu semua tunduk kepada perintah-Nya. ingatlah, menciptakan dan memerintahkan itu hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (al-A’raaf: 54). Firman Allah: yufashshilul aayaati la’allakum biliqaa-i rabbikum tuuqinuun (“Menjelaskan tanda-tanda [kebesaran-Nya], supaya kamu meyakini pertemuan kamu dengan Rabb-mu.”) maksudnya, Allah menerangkan ayat-ayat dan tanda-tanda yang menunjukkan, bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah dan bahwa Allah akan mengembalikan seluruah makhluk jika menghendaki sebagaimana Dialah yang pertama kali menciptakannya.
       ANALISIS
Ada dua asal penciptaan ibadah kepada selain Allah, seperti kepada batu, matahari, bulan dan sebagainya.
Pertama, sebagai orang yang lemah akalnya melihat beberapa manifestasi kekuasaan Allah Ta’ala pada sebagian makhlukNya. Mereka mengira bahwa yang demikian itu bersifat dzati (yang sebenarnya) bagi makhluk ini, bukan sebagai akibat dari sunah-sunah Allah yang dapat dijadikan sebagai sebab-musabab.
Kedua, dijadikannya sebagian makhluk yang mempunyai kekhususan untuk memberikan manfaat atau mudharat, sebagai perantara kapada Tuhan yang Hak guna memberikan syafa’at di sisiNya dan mendekatkan kepada Allah bagi setiap orang yang menghadapkan diri. Maka orang yang mempunyai kebutuhan, memohon dan mengagungkan (makhluk) dengan perkataan maupun perbuatan, dengan anggapan bahwa dengan sebab pengaruh makhluk itulah Allah Ta’ala akan menerima permohonannya.
Diantara makhluk yang mereka buat sebagai pernatara ini ialah patung, berhala, kuburan dan lain sebagainya. Inila syirik yang dilakukan orang-orang Arab pada masa diutusnya Nabi SAW. Oleh sebab itu, ketika tawaf di Baitul Haram, mereka berkata, “Kusambut panggilan Mu, tidak ada sekutu bagi Mu, kecuali sekutu yang ia adalah milik Mu, Engkau dan segala apa yang ia miliki.”
Ibrahim telah membawa hujjah yang sempurna. Dia mencurahkan ibadahnya hanya kepada Allah, Pencipta langit dan bumi, tanpa melalui perantara. Mengenai patung-patung yang mereka buat, Ibrahim berkata, “Sebenarnya Tuhan kalian Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya, dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu”. (Al An Biya, 21 ayat 56)

Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20
Ayat dan terjemah
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى ٱلۡإِبِلِ كَيۡفَ خُلِقَتۡ ١٧  وَإِلَى ٱلسَّمَآءِ كَيۡفَ رُفِعَتۡ ١٨ وَإِلَى ٱلۡجِبَالِ كَيۡفَ نُصِبَتۡ ١٩  وَإِلَى ٱلۡأَرۡضِ كَيۡفَ سُطِحَتۡ ٢٠
17. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan
18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan
19. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan
20. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan

Asbabunnuzul
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan”
Ayat ini turun ketika Allah membeberkan keadaan dan rahasia surga. Kaum yang sesat merasa heran. Ayat ini (88:17) merupakan perintah Allah untuk memperhatikan alam semesta ( fenomena alam seperti bagaimana unta di ciptakan ), dan lain sebagainya.

Penjelasan ayat
Ayat 17-18
اَفَلَايَنْظُرُ ونَ اِلَى الْاِبْلِ كَيْفَ خُلِقَثْ:  17
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan”
Arti kata: افلا “maka apakah tidak”ينظرون “mereka memperhatikan” ال الابل “terhadap unta” كيف “ bagai mana” خلقث “dia di ciptakan?”
وَاِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ: 18
Artinya:” dan langit, bagai mana di tinggikan”
Arti kata:    والاالسماء” dan langit” كيف  “bagaimana” رفعت bentuk diatetis pasif (majhul=tidak di ketahui) artinya: “(ia) “ditinggikan?”
Penjelasan ayat:
seseorang yang hidup dalam abad ke-IX akan mengatakan bahwa kata-kata “sama” artinya langit, dan pengertiannya ialah bahwa langit itu adalah bola super raksasa yang panjang radiusnya tertentu, yang berputar mengelilingi sumbunya. Dan pada dindingnya tampak menempel bintang-bintang yang gemerlapan di malam hari. Bola ini di katakana mewadahi seluruh ruang alam dan segala sesuatu yang berada di dalamnya. Ia merasa yakin bahwa presepsinya mengenai langit itulah yang sesuai dengan apa yang dapat di amati setiap hari, kapan pun juga. Bintang-bintang tampak tidak berubah posisinya yang satu dengan yang lain, dan seluruh langit itu berputar sekali dalam satu hari (siang dam malam).
Apa yang kita dapat dari orang ini andai kata dia di minta untuk memberikan penafsiran (bukan sekedar salinan kata-kata) pada ayat-ayat tersebut? Tentu saja ia akan memberikan interpretasi yang sesuai dengan presepsinya tentang langit, serta “ardh” yaitu bumi yang datar yang di kurung oleh bola langit. Dan mungkin sekali ia akan mengatakan bahwa ayat 30 surat Al-anbiya’ itu melukiskan peristiwa ketika tuhan mengebutkn langit menjadi bola, setelah ia sekian lama terhampar di permukaan bumi seperti layaknya sebuah benda yang belum di pasang. Dapat kita lihat dalam kasus ini bahwa konsep kosmologis dalam Al-Qur’an mengenai penciptaan alam semesta. Dan tidak benar, Karena konsepnya tidak mampu mengakomodasi gejala yang dinyatakan oleh ayat 47 surahAdz Dzariyat.
Sebuah langit yang berbentuk bola dengan jari-jari tertentu bukan langit yang bertanbah luas. Apalagi kalau ia melingkupi seluruh ruang kosmos beserta isinya, tidak ada lagi sesuatu yang labih besar daripadanya. Pada hemat saya, sesuatu konsepsi mengenai alam semesta yang benar harus dapat di pergunakan untuk menerangkan untuk menerangkan semua peristiwa yang di lukiskan dalam ayat-ayat dalam kitab suci. Ia harus sesuai dengan konsep-konsep kosmalogis yang benar itu pada hakekatnya telah di berikan petunjuk oleh sang pencipta misalnya di dalam ayat 17-18 surat al-ghasyiyah.
Ayat 19-20
وَاِلَى الْخِبَالُ كَيْفَ نُصِبَتْ: 19
Artinya: “ dan gunung-gunung bagai mana dia di tegakkan”
Arti kata: والي الخبل “dan gunung-gunung” كيف “bagaimana” نصبت “(ia) ditegakkan?”
وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ: 20
Artinya: “dan bumi bagaimana di hamparkan?”
Arti kata: والى الارض “ dan bumi” كيف “bagaimana” سطحت “dihamparkan?”
Penjelasan ayat:
Pada ayat ke 19, Allah mengajak manusia untuk memperhatikan bagaimana gunung itu ditegakkan. Ada beberapa ayat lain, yang ada kaitan dengan masalah gunung, seperti al-Nahl 15:
“ Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu”. (QS: An-Nahl: 15)
Ayat ini mengisyaratkan gunung sebagai pasak atau paku bumi, yang dapat menjaga keseimbangan bumi agar tidak goncang, dan telah dibuktikan secara ilmiah terdapat kesesuaian distribusi dan penyebaran gunung secara merata di persada bumi ini.
Peran gunung dalam menjaga keseimbangan permukaan bumi sangat jelas sekali. Khususnya gunung yang disebut oleh ahli geologi dengan barisan pegunungan (mountain chain) lipatan. Pegunungan ini tersebar di beberapa benua di dunia. Dan di bawah kulit bumi telah ditemukan, bahwa lapisan kulit bumi memiliki ketebalan antara 30-60 km. Penemuan ini diperoleh melalui peralatan yang canggih seperti alat yang bernama seismograf yang mampu mengetahui bahwa semua gunung memiliki akar terhunjam dilapisan yang liat untuk menguatkan lapisan kulit bumi yang paling tinggi dan keras seperti fungsi sebuah pasak. Gunung juga bekerja sebagai penahan benua-benua dari hantaman batu-batu karang yang mengalir di bawah kulit bumi yang keras ini. Bila akar gunung yang sangat kokoh tidak ada, maka lapisan kulit bumi akan menjadi sangat lunak. Sehingga, tidak ada lagi keseimbangan dan kekokohannya.
Pada ayat 20, Allah mengajak manusia untuk berfikir bagaimana bumi itu dihamparkan. Ayat ini mengisyaratkan bentuk bumi. Sehingga pertanyaan yang muncul apakah bumi bulat atau terhampar?
Seandainya bumi datar, maka mesti hanya ada satu tempat terbit dan satu tempat terbenam. Tetapi karena bumi bulat, ketika matahari berada di timur bumi, ia akan menyinari sisi bagian timur saja, dan membuat gelap sisi bumi bagian barat, karena terhalang mendapatkan cahaya. Demikian pula yang terjadi sebaliknya. Ayat yang juga menunjukkan bumi bulat surat al-Zumar 5:
”Dia menggulungkan malam atas siang dan menggulungkan siang atas malam”. (QS: Az-Zumar: 5)
Istilah bergulung tidak sempurna dilakukan kecuali oleh benda yang bulat. Bukti yang paling meyakinkan adalah hasil dari pemotretan kamera canggih dari satelit buatan yang telah mengabadikan beberapa bentuk gambar bumi bulat, dilihat dari ruang angkasa.
Nilai tarbawi Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20
Dalam kaitannya dengan pendidikan ayat ini manusia diperintahkan untuk memperhatikan apa yang ada di bumi ini, dalam bahasa pendidikan ini disebut observasi atau penelitian. Kebangkitan kembali ilmu pengetahuan (scientific renaissance) yang timbul di dunia barat adalah berkat pengamatan yang cermat serta eksperimen terhadap gejala-gejala yang terdapat pada alam materi. Sekalipun kita tidak dapat mengakui orientas mutlak dari hukum-hukum demikian itu, namun kita membenarkan bahwa hukum-hukum tersebut memberikan otentisitas dan ketetapan maksimum yang mungkin diperoleh. Hukum-hukum ini secara berangsur-angsur bergerak menuju kesempurnaan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dengan berlakunya masa dan meluasnya ilmu pengetahuan manusia, serta dengan semakin berkembangnya kecermatan di bidang pengamatan (observasi), maka para ilmuan dari waktu ke waktu memperkenalkan perubahan dan modifikasi dalam bebbagai hukumilmiah itu untuk lebih mendekatkannya kepada kenyataan, atau agar ia lebih memberikan hasil guna.








BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Q.S Al-An’am Disini terdapat sindiran yang lebih pantas dikatakan terdapat keterusterangan kesesatan kaumnya, dan isyarat kepada bergantungannya hidayah Ad Din pada wahyu Illahi. Disini, sindiran meningkat karena hujjah lawan bicara telah terpojok dengan pembuktian pertama, sehingga keyakinan mereka termodali. Ibrahim baru menyindir kesesatan setelah dia yakin, bahwa mereka mau mendengarkan maksud terakhir dari pembicaraannya. Dalam langkah ketiga, dia beralih dari sindiran kepada terus-terang, menyatakan kebesarannya dari mereka, dan bahwa mereka benar-benar berada dalam kemusrikan yang nyata. Hal ini setelah kebenaran benar-benar nampak.
Allah memberitahukan tentang kesempurnaan dan kebesaran kekuasaan-Nya yang dengan izin dan perintah-Nya meninggikan langit tanpa tiang, bahkan dengan izin, perintah dan kekuasan-Nya mengangkat langit dari bumi sampai jarak yang tidak dapat dicapai dan diketahui bilangan jaraknya.
Q.S Al-Ghasiyah ayat 17 s/d 20 perintah Allah ke pada manusia untuk bertafakur tentang alam semesta baik secara material maupun spiritual. Bukankah Allah swt menciptakan semua kejadian itu tidak sia-sia, melainkan ada rahasia yang ada di baliknya. Adalah sebagai bikti atas kekuasaan Allah yang maha kuasa atas segala sesuatu dan sebagai dalil rububiyah dan ilahiyah Allah azza wajalla. Rabbulalamin

Metode (kel. 9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Pembelajaran
BAB II : PEMBAHASAN :
METODE PEMBELAJARAN DALAM AL-QUR’AN
QS. Al-Maidah ayat 67
QS. An-Nahl ayat 125
QS. An-Nahl ayat 11-13
QS. Al-A’raf ayat 176-177
QS. Ibrahim ayat 24-25
QS. Al-ankabut ayat 46
BAB III : PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan islam dapat dilihat dari Al-Qur’an yang merupakan sumber hokum dan pedoman hidup bagi setiap muslim. Didalam Al-Qur’an juga mencakup ayat-ayat tentang pendidikan atau tarbiyah, baik secara tersirat maupun tersurat. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Ada dua buah konsep kependidikan yang berkaiatan dengan yang lainya, yaitu belajar (learning) dan pembelajaran (intruction). Konsep belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik.
Mengajar merupakan istilah kunci yang hamper tak pernah luput dari pembahasan mengenai pendidikan karena keeratan hubungan antara keduanya. Metodologi mengajar dalam dunia pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik, karena keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) bergantung pada cara/mengajar gurunya. Jika cara mengajar gurunya enak menurut siswa, maka siswa akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan, sehingga diharapkan akan terjadi perubahan dan tingkah laku pada siswa baik tutur katanya, sopan santunnya, motorik dan gaya hidupnya.

Tujuan
Membahas serta menhkaji mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan Metode Pembelajaran, yaitu Al-Maidah ayat 67, An-Nahl ayat 125, An-Nahl ayat 11-13, Al-A’raf ayat 176-177, Ibrahim ayat 24-25, Al-Ankabut ayat 46.
Mengetahui Asbabun Nuzul dan tafsir/penjelasan dari ayat-ayat tersebut.
Menjelaskan nilai-nilai tarbawi yang terkandung dalam ayat-ayat yang dibahas tersebut.







BAB II
PEMBAHASAN
METODE PEMBELAJARAN DALAM AL-QUR’AN

Surah al-Maidah ayat 67
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغۡ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَۖ وَإِن لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَهُۥۚ وَٱللَّهُ يَعۡصِمُكَ مِنَ ٱلنَّاسِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٦٧
Artinya : “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.

Penjelasan ayat
Kisah ini diceritakan sangat indah oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 67 ini. Beliau menguraikan: Pada awalnya Nabi merasa takut untuk menyampaikan risalah kenabian. Namun, karena ada dukungan lansung dari Allah maka keberanian itu muncul. Dukungan dari Allah sebagai pihak pemberi wewenang menimbulkan semangat dan etos dakwah nabi dalam menyampaikan risalah. Nabi tidak sendirian, di belakangnya ada semangat “Agung”, ada pemberi motivasi yang sempurna yaitu, Allah SWT. Begitu pun dalam proses pembelajaran harus ada keberanian, tidak ragu-ragu dalam menyampaikan materi. Sebab penyampaian materi sebagai pewarisan nilai merupakan amanat agung yang harus diberikan. Bukankah nabi berpesan ; “yang hadir hendaknya menyampaikan kepada yang tidak hadir”. 
Sehingga Allah berfirman sebagai penegasan dukungan keselamatan: وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ = Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Asbabun Nuzul
Abu Huraira R.A menuturkan bahwa ketika Rasulullah saw beserta para sahabatnya tiba di sebuah desa, mereka (para sahabat) melihat sebatang pohon besar untuk berteduh, dan mereka menyarankan kepada Rasulullah saw untuk berteduh di bawahnya untuk sesaat. Rasulullah saw pun mengiyakan saran para sahabatnya, dan tidur di bawahnya, sedang para sahabat tidur di tempat lain. Saat Rasulullah saw sedang tertidur, tiba-tiba datang seorang badui dengan menghunus pedang dan membangunkan Rasulullah saw sambil berkata, “Wahai Rasulullah, sekarang katakana padaku, siapa ya g dapat menyelamatkanmu dariku?” Beliau menjawab “Allah”. Maka turunlah ayat di atas. (Hadist Hasan, riwayat Ibnu Hibban).

Relevansi dengan pendidikan
Surat Al-Maidah ayat 67
Nilai tarbawy yang dapat diambil dari ayat tersebut di atas, yaitu bahwa metode tabligh adalah suatu metode yang dapat diperkenalkan dalam dunia paendidikan modern. Yaitu suatu metode pendidikan dimanaguru tidak sekadar menyampaikan pengajaran kepada murid, akan tetapi dalam metode itu terkandung beberapa persyaratan guna terciptanya efektivitas proses belajar mengajar. Beberapa persyaratan yang dimaksud adalah :
Aspek kepribadian guru yang selalu menampilkan sosok uswah hasanah, suri tauladan yang baik bagi murid-muridnya.
Aspek kemampuan intelektual yang memadai.
Aspek penguasaan metodologis yang cukup sehingga mampu meraba dan membaca kejiwaan dan kebutuhan murid-muridnya.
Aspek spiritualitas dalam arti pengamal ajaran Islam yang istiqomah.

Apabila keempat persyaratan di atas dipenuhi oleh seorang guru, maka materi yang disampaikan kepada murid akan merupakan qoulan baligha, yaitu ucapan yang komunikatif dan efektif.

Surah An-Nahl ayat 125
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Penjelasa Ayat
Tafsir Al-Jalalain
“Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat atau perkataan yang halus)  dan debatlah mereka dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti menyeru manusia kepada Allah SWT dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujah).  Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Mahatahu, yakni Mahatahu tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia Maha tahu atas orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Maka Allah membalas mereka. Hal ini terjadi sebelum ada perintah berperang. Ketika Hamzah  dibunuh (dicincang dan meninggal dunia pada Perang Uhud)”.
Dari riwayat lain, ayat diatas menjelaskan tentang hubungan antara akidah tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim dahulu dan disempurnakan dengan agama terakhir dengan akidah-akidah menyimpang yang diyakini dan dipegang teguh oleh kaum musyrikin dan kaum Yahudi. Hal itu sebagian dari apa yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an ini untuk dijelaskan kepada manusia. Lalu, Rasulullah pun mengambil jalan Nabi Ibrahim dengan mengajak manusia kepada jalam Rabbnya, dakwah kepada tauhid dengan hikmah dan mau’izah hasanah, dan membantah para penentang akidahnya dengan cara yang lebih baik.
Apabila mereka meyakini beliau dan kaum muslimin, maka beliaupun akan membalasnya dengan hal yang serupa. Kecuali kalau beliau mau memaafkan dan bersabar, meskipun mampu untuk membalas dan balasan yang serupa, seraya meyakini bahwa kesudahan yang baik itu untuk orang-orang yang bertaqwa dan berbuat baik. Beliau tidak merasa sedih atas orang-orang yang belum pendapat petunjuk. Dada beliau juga tidak merasa sesak (dongkol) terhadap makar yang diarahkan kepada beliau dan kaum beriman.
Asbabun Nuzul
Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah saw. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah. Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah saw, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya  ayat tersebut.
Relevansi dengan pendidikan
Nilai tarbawiyah yang dapat diambil dari ayat tersebut di atas menyangkut metode atau cara melakukan dakwah. Ayat tersebut juga mengisyaratkan adanya tiga tipologi manusia dalam kaitannya dengan penyikapan terhadap dakwah dan pendidikan, yaitu:
Mereka yang dengan segala kemampuan nalar dan nuraninya selalu berusaha menemukan kebenaran sejati, untuk mengajak dan mendidik manusia dalam tipe ini cukup dengan metode al-hikmah.
Mereka yang dengan keluguannya atau karena keterbatasan kemampuan berfikirnya selalu menerima  taqlid dalam menerima kebenaran. Untuk mengajak dan mendidik mereka ke jalan Allah swt lebih efektif dengan metode al-mau’idhat al-hasanat.
Mereka yang dengan segala kecongkakannya selalu berusaha menetang kebenaran. Bagi manusia dalam kelompok ini cara berdakwah dan memberikan pendidikannya harus dengan cara jadal (adu argumentasi) tetapi dengan cara-cara lunak dan santun.

Ketiga tipologi tersebut akan ditemukan juga dari siswa oleh setiap guru di sekolah. Ada anak yang kritis, yang baru akan menerima dan mengakui sesuatu yang disampaikan guru kalau ia sudah betul-betul memahaminya. Ada juga anak-anak yang selalu menerima apa yang disampaikan gurunya tanpa mau banyak bertanya ini dan itu. Bahkan ada anak-anak yang selalu membangkang terhadap gurunya. Untuk itu menghadapi ketiga tipologi anak tersebut seoran guru harus pandai memilih metode pendidikan yang tepat.

Surah An-Nahl ayat 11-13
يُنۢبِتُ لَكُم بِهِ ٱلزَّرۡعَ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلنَّخِيلَ وَٱلۡأَعۡنَٰبَ وَمِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ١١ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّهَارَ وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَۖ وَٱلنُّجُومُ مُسَخَّرَٰتُۢ بِأَمۡرِهِۦٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ ١٢ وَمَا ذَرَأَ لَكُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُخۡتَلِفًا أَلۡوَٰنُهُۥٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَذَّكَّرُونَ ١٣
Artinya : Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya). Dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran.

Penjelasan Ayat
Dari ayat diatas menjelaskan tentang hubungan antara akidah tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim dahulu dan disempurnakan dengan agama terakhir dengan akidah-akidah menyimpang yang diyakini dan dipegang teguh oleh kaum musyrikin dan kaum Yahudi. Hal itu sebagian dari apa yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an ini untuk dijelaskan kepada manusia. Lalu, Rasulullah pun mengambil jalan Nabi Ibrahim dengan mengajak manusia kepada jalam Rabbnya, dakwah kepada tauhid dengan hikmah dan mau’izah hasanah, dan membantah para penentang akidahnya dengan cara yang lebih baik.
Apabila mereka meyakini beliau dan kaum muslimin, maka beliaupun akan membalasnya dengan hal yang serupa. Kecuali kalau beliau mau memaafkan dan bersabar, meskipun mampu untuk membalas dan balasan yang serupa, seraya meyakini bahwa kesudahan yang baik itu untuk orang-orang yang bertaqwa dan berbuat baik. Beliau tidak merasa sedih atas orang-orang yang belum pendapat petunjuk. Dada beliau juga tidak merasa sesak (dongkol) terhadap makar yang diarahkan kepada beliau dan kaum beriman.

Surah al-A’raf ayat 176-177
وَلَوۡ شِئۡنَالَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَثۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَاۚ فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ١٧٦ سَآءَ مَثَلًا ٱلۡقَوۡمُ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَا وَأَنفُسَهُمۡ كَانُواْ يَظۡلِمُونَ ١٧٧
Artiny : Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.
Penjelasan Ayat
Kedua ayat ini menguraikan keadaan siapapun yang melepaskan diri dari pengetahuan yang telah dimilikinya. Allah SWT menyatakan bahwa sekiranya Kami menghendaki, pasti Kami menyucikan jiwanya dan meninggikan derajatnya dengannya yakni melalui pengamalannya terhadap ayat-ayat itu, tetapi dia mengekal yakni cenderung menetap terus menerus di dunia menikmati gemerlapnya serta merasa bahagia dan tenang menghadapinya dan menurutkan dengan antusias hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya adalah seperti anjing yang selalu menjulurkan lidahnya.
Kedua ayat diatas juga memberikan perumpamaan orang yang ber pengetahuan, sampai-sampai pengetahuan itu melekat pada dirinya seperti melekatnya kulit pada dagingnya. Namun dia menguliti dirinya dengan melepaskan tuntunan pengetahuannya. Dia diibaratkan seekor anjing yang terengah-engah sambil menjulurkan lidahnya. Biasanya yang terengah-engah adalah yang letih atau kehausan membutuhkan air, tetapi anjing terengah-engah bukan hanya ketika letih ataupun haus, tapi sepanjang hidupnya dia selalu demikian. Sama dengan orang yang memperoleh pengetahuan tetapi terjerumus mengikuti hawa nafsunya. Seharusnya pengetahuan tersebut membentengi dirinya dari perbuatan buruk. 
Dari Ayat tersebut juga bisa jadi tinjauan kita menggunakan metode menakut-nakuti dan memikirkan Nikmat ini telah memfokuskan perhatian mereka terhadap apa yang mereka rasakan berupa nikmat ditempatkannya dimuka bumi, dan dijadikannya bumi itu sebagai tempat tinggal mereka yang dilengkapi berbagai pemenuhan kebutuhan pokok dan kesempurnaan manusia.

Asbabun Nuzul
Terdapat riwayat yang mengatakan bahwa dia adalah seorang laki-laki dari bani Israel yang bernama Bal’am bin Ba’ura’. Riwayat lain mengatakan bahwa orang itu adalah seorang laki-laki dari Palestina yang dictator. Riwayat lain juga mengatakan bahwa dia adalah orang Arab yang bernama Umayyah bin Shalt. Adapula riwayat yang mengatakan bahwa dia adalah seseorang yang hidup sezaman dengan masa Rasulullah, yang bernama Amir al-Fasik. Dan, ada pula riwayat yang mengatakan bahwa orang tersebut semasa dengan Nabi Musa a.s.  Ada lagi riwayat yang mengatakan bahwa dia hidup sepeninggal Nabi Musa a.s , yaitu sezaman dengan Yusya’ bin Nun yang memerangi para dictator bani Israel sesudah mereka kebingungan dan terkatung-katung di padang pasir selama empat puluh tahun. Yakni, sesudah bani Israel tidak mau memenuhi perintah Allah untuk memasukinya dan berkata kepada Nabi Musa a.s.,”Maka pergilah engkau bersama Tuhanmu, lalu perangilah mereka, sedang kami menunggu di sini.”
Diriwayatkan juga di dalam menafsirkan ayat-ayat yang diberikan kepadanya bahwa ayat-ayat itu adalah nama Allah yang teragung. Orang itu berdo’a dengan menyebutnya, lalu dikabulkan do’anya. Sebagaimana juga ada riwayat yang mengatakan bahwa ayat – ayat itu adalah kitab suci yang diturunkan, sedang dia adalah seorang Nabi. Setelah itu, terdapat keterangan yang berbeda-beda mengenai perincian cerita tersebut.

Relevansi dengan pendidikan
Nilai tarbawy yang dapat diambil dari ayat tersebut di atas adalah bahwa Al-Qur’an menyuguhkan Islam sebagai manhaj untuk bergerak. Juga untuk memandu perjalanan manusia langkah demi langkah mendaki puncak tertinggi, sesuai dengan program dan ketentuan-ketentuannya. Di tengah gerak riilnya, Islam membentuk system kehidupan bagi manusia, membangun prinsip-prinsip syariatnya, dan kaidah-kaidah ekonomi, social, dan politik mereka. Kemudian dengan akalnya yang berpedoman pada Islam, manusia menciptakan aturan-aturan hukum fikih, ilmu kealaman, ilmu  jiwa, dan semua kebutuhan hidup praktis mereka yang riil. Mereka menciptakannya, sedang di dalam jiwanya terdapat kehangatan dan motivasi akidah, keseriusan melaksanakan syariat dan merealisasikannya, dan kebutuhan-kebutuhan hidup riil dengan arahan – arahannya.

Inilah manhaj Al-Qur’an di dalam membentuk jiwa muslim dan kehidupan islami. Adapun kajian teoritis yang semata-mata hanya kajian, maka yang demikian inilah ilmu yang tidak dapat melindungi pemiliknya dari kecenderungan kepada kehidupan dunia, dorongan hawa nafsu, dan godaan setan. Ilmu bukan semata-mata pengetahuan. Tetapi, semestinya ia dapat menciptakan akidah yang hangat, bersemangat, dan bergerak untuk mengimplementasikan petunjuknya di dalam hati dan di dalam alam kehidupan.

Surah Ibrahim ayat 24-25
أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا كَلِمَةٗ طَيِّبَةٗ كَشَجَرَةٖ طَيِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتٞ وَفَرۡعُهَا فِي ٱلسَّمَآءِ ٢٤ تُؤۡتِيٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينِۢ بِإِذۡنِ رَبِّهَاۗ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٥
Artinya : Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
1.  Penjelasan Ayat
أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا كَلِمَةٗ طَيِّبَةٗ كَشَجَرَةٖ طَيِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتٞ وَفَرۡعُهَا فِي ٱلسَّمَآءِ ٢٤
Perumpamaan yang disebutkan dalam ayat ini, ialah perumpamaan mengenai kata-kata ucapan yang baik, misalnya kata-kata yang mengandung ajaran tauhid, seperti “La ilaha illallah” atau kata-kata lain yang mengajak manusia kepada kebajikan dan mencegah mereka dari kemungkaran; kata-kata semacam itu diumpamakan sebagai pohon yang baik, akarnya teguh menghujam ke bumi, dan dahannya rimbun menjulang ke langit. Pohon yang baik itu dalam peradaban Indonesia digambarkan “akarnya tempat bersila,batangnya tempat bersandar, daunnya tempat bernaung, dan buahnya lezat dimakan”. Yang berarti memberikan manfaat yang banyak.
Agama Islam mengajarkan kepada umatnya, agar membiasakan diri menggunakan ucapan yang baik, yang berfaedah bagi dirinya, dan bermanfaat bagi orang lain. Ucapan seseorang menunjukan watak dan kepribadiannya serta adab dan sopan santunnya. Sebaliknya, setiap muslim harus menjauhi ucapan dan kata-kata yang jorok, yang dapat menimbulkan kemarahan, kebencian, permusuhan dan menyinggung perasaan atau menimbulkan rasa jijik bagi yang mendengarnya.
تُؤۡتِيٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينِۢ بِإِذۡنِ رَبِّهَاۗ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٥
Dalam ayat ini digambarkan, bahwa pohon yang baik itu selalu memberikan buahnya pada setiap manusia, dengan seizin Tuhannya. Sebab itu manusia yang mengambil manfaat dari pohon itu hendaklah bersyukur kepada Allah, karena pada hakikatnya, bahwa pohon itu adalah rahmat dan nikmat dari Allah SWT.
Demikian pula halnya kata-kata yang baik yang kita ucapkan kepada orang lain, misalnya dalam memberikan ilmu pengetahuan yang berguna, manfaatnya akan didapat oleh orang banyak. Dan setiap orang yang memperoleh ilmu pengetahuan dari seorang guru haruslah bersyukur kepada Allah karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya melalui seseorang adalah karunia dan rahmat dari Allah SWT.
Seperti halnya seorang Ibu dan Ayah dalam rumah tangga haruslah senantiasa mempergunakan kata-kata yang baik dan sopan, serta menjauhi ucapan-ucapan yang kotor dan kasar, karena ucapan-ucapan itu akan ditiru oleh anak-anak mereka.
Asbabun Nuzul
Demi Allah telah terlintas dalam benakku bahwa yang dimaksud adalah pohon kurma. “Beliau berkata, “Mengapa engkau tidak menyampaikannya?” Aku menjawab: “Aku tidak melihat seorangpun berbicara, maka akupun segera berbicara”. ‘Umar ra. Berkata, “Seandainya engkau menyampaikannya maka sungguh itu lebih kusukai dari ini dan itu”. (HR. Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi dan lain-lain).
Berdasar satu riwayat yang menyatakan (‘Abdullah) putra ‘Umar ra. Berkata, bahwa suatu ketika kami berada di sekeliling Rasulullah saw, lalu beliau bersabda, “Beritahulah aku tentang sebuah pohon yang serupa dengan seorang muslim, memberikan buahnya pada setiap musim! “Putra ‘Umar berkata, “Terlintas dalam benakku bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tetapi aku lihat Abu Bakar dan Umar tidak berbicara, maka aku segan berbicara”. Dan seketika Rasulullah saw tidak mendengar jawaban dari hadirin, beliau barsabda, “Pohon itu adalah pohon kurma”. Setelah selesai pertemuan dengan Rasulullah saw itu, aku berkata kepada (ayahku) ‘Umar: “Hai Ayahku!”
Relevansi dengan pendidikan
Nilai tarbawy yang dapat diambil dari ayat tersebut di atas adalah bahwa perumpamaan adalah salah satu metode yang dapat diterapkan dalam proses pendidikan dan pengajaran. Melalui ungkapan-ungkapan pemisalan, anak didik akan mudah memahami materi pelajaran dan akan lebih termotivasi untuk melakukan karya-karya nyata dan positif. Gambaran perumpamaan pada ayat di atas tentang pohon bagus yang akarnya kokoh menancap ke dasar bumi dan cabangnya menjulang ke angkasa untuk sebuah kalimah thayyibah, bertujuan agar obyek yang diajak bicara lebih mudah memahami pentingnya memiliki prinsip tauhid yang kuat dalam menempuh perjalanan kehidupan di dunia ini.

Surah al-Ankabut ayat 46
۞وَلَا تُجَٰدِلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡهُمۡۖ وَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱلَّذِيٓ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَأُنزِلَ إِلَيۡكُمۡ وَإِلَٰهُنَا وَإِلَٰهُكُمۡ وَٰحِدٞ وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ ٤٦
Artinya : Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri".
Penjelasan Ayat
Maka pada ayat ini diterapkan cara berdebat dan memahami ahli kitab, serta menerapkan sikap mereka terhadap dakwah itu dan terhadap Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Sesungguhnya ajaran tentang ke-Esa-an Allah, yang merupakan azaz risalah yang dibawa para Nabi dan Rasul sejak dahulu kala sampai kepada risalah Nabi dan Rasul terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW berasal dari sumber yang satu, yaitu dari Allah Maha Pencipta, dan tujuannya adalah satu pula, yaitu memberi petunjuk kepada manusia dan mengembalikan mereka dari jalan yang sesat ke jalan yang lurus, serta untuk mendidik mereka agar selalu mengikuti ajaran-ajaran Allah, sehingga mereka hidup berbahagia di dunia dan di akhirat nanti. Allah SWT juga menetapkan bahwa setiap orang yang telah mengikuti risalah Nabi dan Rasul yang diutus kepada mereka, masing-masing mereka adalah manusia yang lebih mulia dari yang lain, karena mereka adalah umat yang satu sama-sama menyembah Tuhan yang satu, Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Pencipta.
Berdasarkan hal yang tersebut di atas maka manusia pada setiap kurun, masa dan generasi dapat dibagi kepada dua golongan, yaitu:
Golongan mukmin yang merupakan pendukung agama Allah.
Golongan kafir yang merupakan penentang agama Allah dan termasuk pengikut syetan.
Allah SWT membari petunjuk kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin tentang materi dakwah dan cara menghadapi Ahli Kitab itu adalah karena orang Ahli Kitab tidak menerima seruan Nabi Muhammad yang disampaikan kepada mereka. Ketika Rasulullah SAW menyampaikan kepada mereka kalam Ilahi, kebanyakan dari mereka mendustakannya, hanya sedikit sekali diantara mereka yang memerimanya. Padahal mereka telah mengetahui Muhammad dan ajaran yang dibawanya.
Selanjunya Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin diperingatkan Allah, bahwa jika orang-orang Ahli Kitab mengajak kaum muslimin memperbincangkan kitab suci mereka, dan memberitahukan kepadanya apa yang patut dibenarkan dan apa yang patut ditolak, sedang kamu sekalian megetahui keadaan mereka itu, maka katakanlah kepada mereka: “ Kami percaya kepada Al-Qur’an yang telah diturunkan kepada kami dan kami juga percaya kepada Taurat dan Injil yang telah diturunkan kepadamu. Yang kami sembah dan yang kamu sembah, sebenarnya adalah sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, karena itu marilah kita bersama-sama tunduk dan patuh kepada-Nya dan marilah kita sama-sama melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghentikan larangan-larangan-Nya.















BAB III
PENUTUP

Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam memiliki kemuliaan yang dipelihara oleh Allah dan memiliki fungsi yang begitu besar dalam mengatur tatacara hidup manusia dimana termasuk di dalamnya mengenai metode pengajaran.
Di dalam Al-Qur’an banyak terkandung ayat-ayat yang menjelaskan ataupun menerangkan tentang konsep Metode pengajaran kepada umat manusia diantaranya yang terdapat pada surat Al-Maidah ayat 67, surat An-Nahl ayat 125, surat Al-A’raaf 176-177, serta surat Ibrahim ayat 24-25.
Metode Pengajaran sangat kita perlukan untuk dapat memiliki dan memanajemeni pengetahuan (knowledge management), menjadi manusia yang unggul.
Segala panduan terhadap aturan hidup dan kehidupan antara manusia dengan Tuhan, alam, masyarakat serta dirinya sendiri tersurat di dalam Al-Qur’an. Siapa saja yang mendekati sumber hidayah ini, Insya Allah akan tersentuh dengan petunjuk-Nya dan siapa yang tidak mendekatinya akan jauh dari hidayahnya.

 Surat Al-Maidah ayat 67 :
Dalam ayat di atas menjelaskan bahwa kita selaku umat nabi Muhammad S.A.W harus meniru dan mensuri tauladani akhlak nabi Muhammad s.a.w, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi keluarga dan orang tua hendaklah mendidik anaknya dengan cara meniru akhlak rosululloh sehingga terciptalah norma-norma islam dan kepribadian dalam diri anak tersebut. Dalam ayat ini menggunakan metode suri tauladan dalam ruang lingkup pendidikan.

Surat Al-A’raf ayat 176-177
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa bagi orang-orang yang mengamalkan ayat-ayat Allah akan di tinggikan derajatnya, dan apabila bagi orang-orang yang tidak mengamalkan ayat-ayat Allah karena cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa narfsunya. maka Allah tidak akan memberikan hidayah baginya.Orang yang seperti itu diumpamakan seperti seekor anjing apabila dihalau ia mengululurkan lidahnya dan apablia dibiarkan ia mengulurkan lidahnya pula. Begitu hinanya orang yang tidak mengamalkan ayat-ayat Allah sehingga Allah akan memberikan peringatan kepada orang yang demikian itu. Dalam ayat ini menggunakan metode cerita dalam ruang lingkup pendidikan.

Surat Ibrahim ayat 24-25
Ayat tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita untuk merenungi dan mentafakuri ciptaan Allah agar dapat diambil hikmah dan pelajarannya. Seperti ayat-ayat Allah yang memiliki kandungan-kandungan makna yang tersirat. Dan metode pengajaran dalam ayat ini adalah kontemplasi.

Surat An-Nahl ayat 125
Dalam ayat di atas terdapat beberapa metode pengajaran, yaitu :
a.   Metode hikmah (pelajaran).
b.   Metode nasihat yang baik
c.   Metode bantahan yang baik dan perkataan yang lemah lembut
Daftar Pustaka

Quraish Shihab,M. 2006. Tafsir Al-Misbah. Lentera Hati: Jakarta
http://stitattaqwa.blogspot.com/2011/08/metode-pendidikan-dalam-kajian-tafsir.html diakses tgl 1-3-2015 pukul 8:26
https://alfanarku.wordpress.com/2012/06/12/benarkah-al-maidah67-diturunkan-sebagai-dalil-penunjukkan-ali-radhiyallahu-anhu/ diakses tgl 28-02-2015 pukul 23:37
http://roeslihamzah.blogspot.com/2012/07/metode-pengajaran-dalam-al-quran.html diakses tgl 1-3-2015 pukul 15:00
http://zhachiicweety.blogspot.com/2012/11/makalah-tafsir-surah-al-maidah-ayat-67.html diakses tagl 28-02-2015 pukul 17:25
http://czifa24.blogspot.com/2012/12/tafsir-tarbawy-metode-pendidikan.html diakses tgl 28-02-2015 pukul 17:36
http://tokwae.blogspot.com/2013/01/asbabun-nuzul-ayat-67-surah-al-maidah.html diakses tgl 1-3-2015 pukul 9:04
http://grabalong.blogspot.co.id/2015/03/ayat-ayat-tentang-metode-pendidikan.html